Entri ini saya buat untuk satu situs ajaib yang membuat saya mencapai satu mimpi kecil saya, yaitu tinggal di apartemen mungil di pusat ibu kota. Terdengar ambisius dan haus dengan hal luxurious? Hahahaha. Sebenarnya saya cuma beruntung bisa mendapatkan tumpangan tinggal di Seoul setelah masa pertukaran pelajar saya berakhir. Eh, tunggu-tunggu. Tumpangan?
Yap, akhirnya saya coba Couchsurfing (selancar sofa), sebuah layanan sosial media yang menghubungkan para penebeng dan pemberi tebengan nginep, terutama buat wisatawan yang gembel kayak daku. Muehehe. Oia, ini adalah kali kedua saya mencoba layanan ini. Sebelumnya, saya sudah pernah nebeng di Macau. Ini kali kedua pula saya memberi impresi positif untuk Couchsurfing yang memertemukan saya dengan orang-orang baru yang luar biasa.
Potret Hongdae dari meja kamar host |
Kenapa saya berani untuk tinggal di tempat orang yang belum dikenal? Apa lagi saya perempuan!
Ummmm....
Yang pertama karena saya pernah mencoba. Tapi, kalau masih belum cukup alasannya. Mungkin kicau berikut bisa menjadi rujukan yang cukup "menenangkan"--kalau tetap tidak berhasil meyakinkanmu.
Ummmm....
Yang pertama karena saya pernah mencoba. Tapi, kalau masih belum cukup alasannya. Mungkin kicau berikut bisa menjadi rujukan yang cukup "menenangkan"--kalau tetap tidak berhasil meyakinkanmu.
"The best way to find out if you can trust somebody is to trust them." -Ernest Hemingway Also, trust your instincts: http://t.co/LnBrPr5jjq
— Couchsurfing (@Couchsurfing) December 26, 2013
Kepercayaan berdasar intuisi
Sistem Couchurfing adalah sistem pertukaran kepercayaan. Melalui profil yang sehat (profil kita diberi banyak komentar positif dari akun-akun yang terverifikasi, label verifikasi, profil yang masuk akal), kita bisa membobot kepercayaan kita terhadap seseorang. Hanya itu modal saya untuk memulai sepuluh hari ajaib di Seoul. Selanjutnya, saya mulai dengan panduan kemanan dari Couchsurfing. Ini penting, karena di luar sana sudah ada beberapa kasus pelecehan dari beberapa penebeng, termasuk beberapa masalah dari Couchsurfing di Indonesia. Nah, kalau yang ini adalah akibat dari kepercayaan yang kelewatan. Hahaha. Ngomong-ngomong, kok jadi sebel juga, ya, dengar orang Indonesia yang kurang dipercaya. Kan kasian, nanti orang Indonesia lainnya, dilabeli "kurang dipercaya" secara tidak langsung.
Sistem Couchurfing adalah sistem pertukaran kepercayaan. Melalui profil yang sehat (profil kita diberi banyak komentar positif dari akun-akun yang terverifikasi, label verifikasi, profil yang masuk akal), kita bisa membobot kepercayaan kita terhadap seseorang. Hanya itu modal saya untuk memulai sepuluh hari ajaib di Seoul. Selanjutnya, saya mulai dengan panduan kemanan dari Couchsurfing. Ini penting, karena di luar sana sudah ada beberapa kasus pelecehan dari beberapa penebeng, termasuk beberapa masalah dari Couchsurfing di Indonesia. Nah, kalau yang ini adalah akibat dari kepercayaan yang kelewatan. Hahaha. Ngomong-ngomong, kok jadi sebel juga, ya, dengar orang Indonesia yang kurang dipercaya. Kan kasian, nanti orang Indonesia lainnya, dilabeli "kurang dipercaya" secara tidak langsung.
Oia, terlepas dari berita buruknya, saya mau cerita berita menyenangkannya dan apa yang bisa saya pelajari dari pengalaman Couchsurfing kali ini.
Tentang host
Tentang host
Saya tinggal di Hongdae, daerah anak muda internasionalnya Korea -katanya sih begitu- yang kental dengan budaya kehidupan malamnya. Host saya adalah orang Italia yang sedang bekerja di sebuah LSM di Korea, namanya Francesco. Dulunya ia pernah datang ke Semarang dan merupakan partner dari salah satu LSM anak muda yang cukup terkenal di Semarang, namanya IIWC dan De Javato. Boleh dibilang, Francesco juga merupakan seorang teman dari seorang teman.
Umurnya sekarang sudah 37 dan hanya tinggal sendirian di apartemen yang cukup besar itu. Tidak ada banyak macam barang di sana. Kalaupun ada, maka jumlahnya hanya satu termasuk dirinya yang tinggal seorang diri. Tidak ada potret diri atau potret keluarga tergantung, tidak ada TV, tapi ada rak besar di mana buku-buku yang dikirimnya dari Italia berjajar rapi. Urusan dapur dibuatnya sesederhana mungkin: tidak ada penanak nasi, hanya satu spatula, satu penggorengan, satu gelas dan satu cangkir. Yang jumlahnya dua justru matras yang ia sediakan untuk Couchsurfer macam saya begini.
Rasanya sedih lihat dia sendirian. Ironi. Padahal ia adalah orang yang cerdas dan pekerja keras. Ia juga tinggal di pusatnya-pusat kota--pusat kota yang pernah sangat saya (dan mungkin jutaan traveler lain) inginkan. Saya jadi merefleksi diri lagi, apakah selama ini apa yang saya lakukan sudah membuat saya cukup bahagia? Meninggalkan keluarga, loncat dari sana ke sini, atau misalnya menuruti kata hati perempuan saya untuk belanja itu dan ini. Apakah itu yang membuat saya merasa benar-benar bahagia? Apakah selama ini saya hidup untuk membuat orang merasa terkesan atau saya sudah berusaha untuk membuat diri saya sendiri terkesan?
Kebahagiaan adalah sebuah rahasia.