Selasa, 10 Mei 2016

Paradise for The Shopaholic

In the motivation section -when applying for exchange program- I mentioned Korea's industrialization as the subject that I'd like to study. And yes I did on-class and off-class study of it. The on-class is for me, because I'm an Economics student. Going further to the off-class, lemme bring you walk around the last chain of supply through lens! (Actually it's Professor Oh, not me. Kkk). We are gonna window shop several spots in Korea where you can chop your money and go broke in a couple of hour!



Seriously! Korea is one of the paradises for the shopaholic. The price of clothes and girlish apparels are dreadfully dirt-cheap (relative to foods and beverages) and uber cute!

I'm a student. How could I count?

In Korea, one proper meal may cost 15.000, whereas you can own a lovely skirt at only 45.000; by any chance, you only need to serve breakfast for one day meal on behalf one cutesy skirt. While the situation is warranted, you might also substitute your meal with canteen ticket. Let's apply the same comparison in Indonesia. One proper meal costs 10.000, whereas adorable skirt worths 100.000; hence, you must serve breakfast for at least three days to afford one comely skirt. See? Indonesia has more expensive skirt! Over this comparative advantage approach, shopping in Korea is more suggested! Let's turn all corridors into catwalks, Ladies!



Myeongdong, Seoul

I went to Seoul by train almost every week! I had exchange partners who are quite obsessive about fashion stuffs. Surely, as a good friend, I walked her here and there. It was very torturing having to close my eyes from all these tempting pleasures. Cosmetics are renowned to be reasonable most -if cannot be called as CHEAAAP- in here! Even with shoe-string budget, thousands of hi-end look clothes are available in fair -if cannot be called as HOLLLY CHEAP- price. Myeongdong, Insadong, Namdemun, and other -dongs/-mun are the must list on your itinerary (if you come by any chance). At worst, feel the atmosphere!

Another spot in Meyongdong Seoul

You are 21? It's nothing without money to spend in Forever 21.


Ya Allah.......... please send me your overwhelming rizq to me, so then I can tadabur-alam with ease in your dunya and also add a number of shopping bags clinging on my hands to help Korea's economy where millions of tummy matter within it. Aamiin.

Korean Song Cover

If truth to be told, the first time I stepped my foot in Korea was the first time I'm in touch with Korea as a "country". The only thing I knew about Korea was Full House--a drama aired in my national TV channel back then in the secondary school year. 


 

However, every small pieces of my experiences had pulled me head over heels with this country. Unintentionally, Korean language, Korean culture, Korean music, Korean people, Korean foods, and Korean dramas, were becoming a habitual. It was my new "normal" that I didn't actually wish at the first place. But, once it happened to me, I didn't ignore, though.


I used to be a bold person with taste in fantasy and thriller genre. Drama--as typically "feeling person" favorites--used to not match me. But hey ........... drama does work to me these days. The first drama I love most is Reply 1988. And the one trending drama entitled Descendants of The Sun is my next. 


To complete the series of Korean-taste in my life, I decided to cover one Korean song. Hahahaha! This song is one of official osts of Descendant of The Sun. As my voice is not dazzling, I guarantee my musical aptitude won't destroy Davichi's song.

Go find your ergi, Chums! Enjoy!

 

Jumat, 10 Januari 2014

Dari Sofa ke Sofa

Entri ini saya buat untuk satu situs ajaib yang membuat saya mencapai satu mimpi kecil saya, yaitu tinggal di apartemen mungil di pusat ibu kota. Terdengar ambisius dan haus dengan hal luxurious? Hahahaha. Sebenarnya saya cuma beruntung bisa mendapatkan tumpangan tinggal di Seoul setelah masa pertukaran pelajar saya berakhir. Eh, tunggu-tunggu. Tumpangan?

Yap, akhirnya saya coba Couchsurfing (selancar sofa), sebuah layanan sosial media yang menghubungkan para penebeng dan pemberi tebengan nginep, terutama buat wisatawan yang gembel kayak daku. Muehehe. Oia, ini adalah kali kedua saya mencoba layanan ini. Sebelumnya, saya sudah pernah nebeng di Macau. Ini kali kedua pula saya memberi impresi positif untuk Couchsurfing yang memertemukan saya dengan orang-orang baru yang luar biasa.

Potret Hongdae dari meja kamar host
Sumber: Travel Writesing


Kenapa saya berani untuk tinggal di tempat orang yang belum dikenal? Apa lagi saya perempuan!

Ummmm....

Yang pertama karena saya pernah mencoba. Tapi, kalau masih belum cukup alasannya. Mungkin kicau berikut bisa menjadi rujukan yang cukup "menenangkan"--kalau tetap tidak berhasil meyakinkanmu.


Kepercayaan berdasar intuisi
Sistem Couchurfing adalah sistem pertukaran kepercayaan. Melalui profil yang sehat (profil kita diberi banyak komentar positif dari akun-akun yang terverifikasi, label verifikasi, profil yang masuk akal), kita bisa membobot kepercayaan kita terhadap seseorang. Hanya itu modal saya untuk memulai sepuluh hari ajaib di Seoul. Selanjutnya, saya mulai dengan panduan kemanan dari Couchsurfing. Ini penting, karena di luar sana sudah ada beberapa kasus pelecehan dari beberapa penebeng, termasuk beberapa masalah dari Couchsurfing di Indonesia. Nah, kalau yang ini adalah akibat dari kepercayaan yang kelewatan. Hahaha. Ngomong-ngomong, kok jadi sebel juga, ya, dengar orang Indonesia yang kurang dipercaya. Kan kasian, nanti orang Indonesia lainnya, dilabeli "kurang dipercaya" secara tidak langsung.



Oia, terlepas dari berita buruknya, saya mau cerita berita menyenangkannya dan apa yang bisa saya pelajari dari pengalaman Couchsurfing kali ini.

Tentang host
Saya tinggal di Hongdae, daerah anak muda internasionalnya Korea -katanya sih begitu- yang kental dengan budaya kehidupan malamnya. Host saya adalah orang Italia yang sedang bekerja di sebuah LSM di Korea, namanya Francesco. Dulunya ia pernah datang ke Semarang dan merupakan partner dari salah satu LSM anak muda yang cukup terkenal di Semarang, namanya IIWC dan De Javato. Boleh dibilang, Francesco juga merupakan seorang teman dari seorang teman. 

Umurnya sekarang sudah 37 dan hanya tinggal sendirian di apartemen yang cukup besar itu. Tidak ada banyak macam barang di sana. Kalaupun ada, maka jumlahnya hanya satu termasuk dirinya yang tinggal seorang diri. Tidak ada potret diri atau potret keluarga tergantung, tidak ada TV, tapi ada rak besar di mana buku-buku yang dikirimnya dari Italia berjajar rapi. Urusan dapur dibuatnya sesederhana mungkin: tidak ada penanak nasi, hanya satu spatula, satu penggorengan, satu gelas dan satu cangkir. Yang jumlahnya dua justru matras yang ia sediakan untuk Couchsurfer macam saya begini.

Rasanya sedih lihat dia sendirian. Ironi. Padahal ia adalah orang yang cerdas dan pekerja keras. Ia juga tinggal di pusatnya-pusat kota--pusat kota yang pernah sangat saya (dan mungkin jutaan traveler lain) inginkan. Saya jadi merefleksi diri lagi, apakah selama ini apa yang saya lakukan sudah membuat saya cukup bahagia? Meninggalkan keluarga, loncat dari sana ke sini, atau misalnya menuruti kata hati perempuan saya untuk belanja itu dan ini. Apakah itu yang membuat saya merasa benar-benar bahagia? Apakah selama ini saya hidup untuk membuat orang merasa terkesan atau saya sudah berusaha untuk membuat diri saya sendiri terkesan?

Kebahagiaan adalah sebuah rahasia.

Senin, 30 Desember 2013

Visit to The SKY

Bicara soal pendidikan, ada tiga universitas terbaik (ivy league) di Korea yang sering disebut SKY. SKY adalah akronim dari Seoul National University, Korea University, dan Yonsei University. Di penghujung kegiatan exchange ini, Kak Isna dan aku berkunjung ke kampus-kampus itu. Ceritanya, nih, sedang survei kampus masa depan. Hahaha, Aamiin.

Y

K

S

Jumat, 13 Desember 2013

Winter in Chuncheon

When the campus lake starts freezing in the beginning of winter, under the big bright yellow sun, in a sparkle afternoon

In the midst of snowy square! i had a snow battle with my fella

In my room

Through the window pane

Sabtu, 07 Desember 2013

Pesta Demokrasi di Kampus Korea

Pemilu di kampus Korea adalah pemilu yang paling lucu buat saya. Waktu kuliah di Undip, saya menahan geli karena ada salah satu calon ketua badan mahasiswa yang memasang iklan di billboard jalan menuju kampus. Bagus, kok. Menghidupkan demokrasi. Saya pro. Tapi, letak ketidakadilannya adalah kenapa hanya 1 calon? Sejak saat itu saya berpikir bahwa banyak demokrasi di tingkat kampus yang hanya marketing, bukan politik.

Di Korea, malah tim suksesnya menyanyikan yel-yel di sekitar kampus. Dua  atau tiga orang dari mereka berdiri di pintu gedung kampus, kemudian akan menjura sambil ber-yel-yel ria kalau saya lewat. Mereka tidak dibayar, tapi akan diberi jabatan kalau calon yang mereka usung bisa menduduki jabatan. Sejak saat itu saya berpikir bahwa banyak demokrasi di tingkat kampus yang hanya main untung-untungan.


Dulu waktu SMA, saya pernah begitu yakin bahwa orang-orang yang golput dalam pesta demokrasi adalah orang-orang yang lepas tanggung jawab sebagai penentu kesejahteraan negara. Posting itu juga membantu saya di kontes Internet Sehat. Iya itu benar, karena dulu saya berpikir dalam skala kecil, saya pikir informasi di pasar itu tidak terbatas, saya pikir memilih di suatu tempat itu mudah, saya pikir demokrasi dengan pemilu adalah hak politik kita. Karena saya masih SMA, tinggal di lingkungan yang kecil.

Suatu kali saya belajar Ilmu Ekonomi tentang memilih. Ada satu teori namanya teori median voter, di mana calon jangan terlalu berlebihan dan jangan terlalu kekurangan, lebih baik cari suara dari orang-orang yang menempatkannya sebagai pilihan kedua. Sejak saat itu saya berpikir, bagaimana kita bisa mendapatkan pemimpin terbaik secara mutu dan pengalaman kalau mengandalkan logika ini?

Ada satu presentasi dari Dambisa Moyo yang bercerita tentang paradoks ini. Tentang ekonomi, sih. Tapi, masih mudah dipahami.

Demokrasi oke sih, tapi ...
Sejak saya mengenal Ilmu Ekonomi dan melihat dunia baru, saya baru mengerti bahwa sesuatu akan baik di tempatnya sendiri-sendiri. Jadi, apakah pemilu di kampus itu baik? Tergantung kampusnya. Apakah demokrasi di suatu negara itu baik? Tergantung negaranya.