Senin, 30 Desember 2013

Visit to The SKY

Bicara soal pendidikan, ada tiga universitas terbaik (ivy league) di Korea yang sering disebut SKY. SKY adalah akronim dari Seoul National University, Korea University, dan Yonsei University. Di penghujung kegiatan exchange ini, Kak Isna dan aku berkunjung ke kampus-kampus itu. Ceritanya, nih, sedang survei kampus masa depan. Hahaha, Aamiin.

Y

K

S

Jumat, 13 Desember 2013

Winter in Chuncheon

When the campus lake starts freezing in the beginning of winter, under the big bright yellow sun, in a sparkle afternoon

In the midst of snowy square! i had a snow battle with my fella

In my room

Through the window pane

Sabtu, 07 Desember 2013

Pesta Demokrasi di Kampus Korea

Pemilu di kampus Korea adalah pemilu yang paling lucu buat saya. Waktu kuliah di Undip, saya menahan geli karena ada salah satu calon ketua badan mahasiswa yang memasang iklan di billboard jalan menuju kampus. Bagus, kok. Menghidupkan demokrasi. Saya pro. Tapi, letak ketidakadilannya adalah kenapa hanya 1 calon? Sejak saat itu saya berpikir bahwa banyak demokrasi di tingkat kampus yang hanya marketing, bukan politik.

Di Korea, malah tim suksesnya menyanyikan yel-yel di sekitar kampus. Dua  atau tiga orang dari mereka berdiri di pintu gedung kampus, kemudian akan menjura sambil ber-yel-yel ria kalau saya lewat. Mereka tidak dibayar, tapi akan diberi jabatan kalau calon yang mereka usung bisa menduduki jabatan. Sejak saat itu saya berpikir bahwa banyak demokrasi di tingkat kampus yang hanya main untung-untungan.


Dulu waktu SMA, saya pernah begitu yakin bahwa orang-orang yang golput dalam pesta demokrasi adalah orang-orang yang lepas tanggung jawab sebagai penentu kesejahteraan negara. Posting itu juga membantu saya di kontes Internet Sehat. Iya itu benar, karena dulu saya berpikir dalam skala kecil, saya pikir informasi di pasar itu tidak terbatas, saya pikir memilih di suatu tempat itu mudah, saya pikir demokrasi dengan pemilu adalah hak politik kita. Karena saya masih SMA, tinggal di lingkungan yang kecil.

Suatu kali saya belajar Ilmu Ekonomi tentang memilih. Ada satu teori namanya teori median voter, di mana calon jangan terlalu berlebihan dan jangan terlalu kekurangan, lebih baik cari suara dari orang-orang yang menempatkannya sebagai pilihan kedua. Sejak saat itu saya berpikir, bagaimana kita bisa mendapatkan pemimpin terbaik secara mutu dan pengalaman kalau mengandalkan logika ini?

Ada satu presentasi dari Dambisa Moyo yang bercerita tentang paradoks ini. Tentang ekonomi, sih. Tapi, masih mudah dipahami.

Demokrasi oke sih, tapi ...
Sejak saya mengenal Ilmu Ekonomi dan melihat dunia baru, saya baru mengerti bahwa sesuatu akan baik di tempatnya sendiri-sendiri. Jadi, apakah pemilu di kampus itu baik? Tergantung kampusnya. Apakah demokrasi di suatu negara itu baik? Tergantung negaranya.

Mengenang Nelson Mandela di Korea

Sepeninggal Nelson Mandela, khalayak mengenang isu perbedaan warna kulit. Seluruh dunia berduka. Mulai dari New York's Times yang menyebutkan kematian beliau di salah satu berita kematian terkemuka, sampai MalesBangetDotCom yang membahas para pekicau yang tidak tau Nelson Mandela, semuanya membahas hal yang sama.

Buat kita yang tinggal di Indonesia, rasanya mungkin biasa saja. Kita patut merasa beruntung sudah lahir di Indonesia dan selalu merasa nyaman untuk hidup di tempat yang plural. Sejak kecil, kita sudah diajarkan untuk jadi orang yang pikirannya terbuka.

Tapi buat saya, sedikit beda rasanya waktu mendengar berita itu di Korea. Selama tinggal di negara ini, seperti beberapa cerita saya sebelumnya, kadang ada rasa keberatan dengan menjadi berbeda secara visual. Itu bisa dipahami, kami karena Korea adalah negara yang homogen dan konfisius. Mereka sangat kolektif.

Hari ini saya bertemu dengan Sangpin oppa (Kak Sangpin) untuk mengerjakan tugas bersama. Ia menggunakan potret Nelson Mandela di akun sosial KakaoTalk-nya.

"kenapa kamu pakai foto Nelson Mandela?" Tanya saya.

"Saya punya hubungan personal dengan Nelson Mandela. Dulu, saya merasa tidak nyaman untuk bertemu dengan orang asing. Saya pikir, hanya bangsa saya yang benar. Suatu hari saya membaca bukunya dan sejak saat itu saya baru mengerti bahwa semua orang di dunia itu sama" jawabnya, seraya tersenyum.

 *efek blooming* kemudian Mas-nya pun keliatan makin tsakep...


Duh, jadi speechless. Ternyata orang Korea pernah berpikiran sampai segitunya dan berubah segitunya.

Dan.. Kalau bukan karena Nelson, mungkin saya tidak pernah punya hubungan baik dengan Kak Sangpin. 

Selamat jalan, Nelson Mandela.