Selasa, 12 November 2013
Minggu, 10 November 2013
Buddy System
Seperti janji saya sebelumnya di entri awal, saya ingin memperkenalkan Mas Changyoon--Mas yang menjemput saya dan Kak Isna di bandara, setiba di Korea. Kenapa Mas ini sangat spesial buat saya?
Tjieeeee
Asyyiknya menjadi mahasiswa pertukaran dibandingkan dengan mahasiswa yang mengambil program gelar akademis adalah karena kita akan dipasangkan dengan seorang mahasiswa Korea selama program berlangsung. Kami menyebutnya buddy.
B
Buddy saya dan Kak Isna ini adalah mahasiswa yang mendaftar dan dipilih. Tugas Changyoong secara sederhana adalah menjadi "guardian" kami selama di Korea. Mulai dari menjemput kami di bandara, mengenalkan kami beberapa tempat makan, mengajak kami jalan-jalan di sekitar kota, membantu proses KRS akademik, membantu proses aplikasi beasiswa, memberikan panduan mengenai budaya setempat, mengurus Alien Card (kartu penduduk sementara untuk orang asing), dan mengantar kami berbelanja berbagai kebutuhan tinggal selama satu semester ke depan.
Ka Isna, Me and Changyoon |
Buddy saya dan Kak Isna ini adalah mahasiswa yang mendaftar dan dipilih. Tugas Changyoong secara sederhana adalah menjadi "guardian" kami selama di Korea. Mulai dari menjemput kami di bandara, mengenalkan kami beberapa tempat makan, mengajak kami jalan-jalan di sekitar kota, membantu proses KRS akademik, membantu proses aplikasi beasiswa, memberikan panduan mengenai budaya setempat, mengurus Alien Card (kartu penduduk sementara untuk orang asing), dan mengantar kami berbelanja berbagai kebutuhan tinggal selama satu semester ke depan.
Timbal baliknya bagi Changyoon adalah pengalaman internasional, mendapatkan teman baru baru yang menyenangkan (hihihihi), practice English, olah raga nganterin kami jalan-jalan (?) berjalan kaki ke sana ke mari demi KRS, dan yang terakhir usut punya usut ia juga mendapatkan tunjangan dari kampus. Oh ... pada akhirnya ...
Buat teman-teman yang berpikir betapa nekatnya saya kuliah di Korea padahal tidak bisa bahasa Korea, maka, dengan senang hati saya perkenalkan Mas Changyoon. I never be that blind to live abroad.
Buat teman-teman yang berpikir betapa nekatnya saya kuliah di Korea padahal tidak bisa bahasa Korea, maka, dengan senang hati saya perkenalkan Mas Changyoon. I never be that blind to live abroad.
Buddy System di Undip
Sebenarnya saya sudah familiar dengan istilah ini sebelum pengalaman pertukaran pelajar. Pertama kali saya dengar istilah ini adalah dari AIESEC UNDIP. Waktu itu saya membuat proyek sosial yang mengikutkan beberapa peserta pertukaran dari beberapa negara. Selama proyek sosial tersebut semua mahasiswa asing yang ada di proyek saya juga punya buddy. Jadi, kalau teman-teman membutuhkan pengalaman internasional, bisa coba dengan manjadi buddy untuk mahasiwa asing di @AIESECUNDIP. Di kota lain juga ada AIESEC-nya, kok. Cek di sini. Tapi, pengalamannya tentu saja berbeda dari Changyoon, karena Changyoon membantu saya yang pertukaran mahasiswa untuk kuliah, sedangkan di AIESEC untuk proyek sosial. Bisa jadi teman-teman juga harus mengantar mereka pulang ke rumah host.
*malah iklan*
*malah iklan*
Sabtu, 02 November 2013
Belajar Keras, Soju Keras (3)
Entri ini adalah lanjutan dari dua entri sebelumnya, yaitu "Belajar Keras, Soju Keras" dan "Belajar Keras, Soju Keras (2)".
***
Di KNU, saya terdaftar sebagai mahasiswa di jurusan Ekonomi, sama seperti jurusan saya sebelumnya di Undip. Sebenarnya sih saya bisa ambil jurusan balet, sejarah, atau apa pun itu. Tapi, saya memilih untuk pilih yang linear saja. Hohoho.
Bagaimana dengan kuliah sebagai mahasiswa pertukaran? Susah? Enggak. Tapi, menantang. Semua kelas yang saya ikuti diberikan dalam bahasa Inggris. Saat input KRS dari portal kampus, saya bisa memilih hanya kelas-kelas internasional. Saya pilih empat kelas: dua mata kuliah ekonomi, satu perdagangan, dan satu kelas percakapan bahasa Inggris. Dosen yang mengajar keren-keren. Saya punya dua dosen dari Ethiopia, satu dosen dari Amerika dan satu dosen Korea yang -syukurlah- bahasa Inggrisnya berlogat Amerika. (FYI, Konglish [Korean English] itu lucu banget, karena mereka punya huruf yang terbatas di satu suku kata) Oia beliau pernah bekerja di PBB, loh! Waw!
Pak Jamal; tipikal kelas di Korea yang bagus, Pak Myungsoo sedang ngobrol dengan Kath |
Apa Bedanya Belajar di Korea dan di Indonesia? Pada dasarnya sama saja. Ada presentasi, tugas kelompok. Apa kelasnya aktif? Tidak. Kelasnya agak pasif. Namanya juga Asia. Ehehehe.
Kadang kala dosennya juga bertanya, kok. Usahakan menjawab, jangan bengong. Bagaimanapun, sebagai representasi Indonesia kita harus punya harga diri di depan mahasiswa internasional. Hoho. Oia, mahasiswa Korea di hampir semua kelas yang saya temui entah mengapa lebih suka duduk di belakang. Sama persis seperti teman-teman di kampus rumah. Padahal, duduk di belakang itu menurut saya nggak enak. Lebih enak di depan, karena tidak ada yang menghalangi dan tulisan dosennya jadi terlihat lebih jelas. "Duduk di depan lebih sering ditunjuk guru/dosen" itu cuma mitos.
Belajar Keras, Soju Keras (2)
Entri ini adalah entri lanjutan dari entri "Belajar Keras, Soju Keras"
***
Setelah melewati ujian tengah semester di sini, saya semakin bisa merasakan betapa semangatnya anak-anak Korea dalam hal belajar. Mereka tidak malu untuk mengatakan bahwa mereka harus menolak sebuah ajakan bermain karena mereka merasa harus belajar. Jujur, waktu di Indonesia saya kadang bohong, "aku ada janji sama temen" demi menghindari teman yang bilang, "sok rajin" atau "sok pinter" atau "ciye belajar" waktu saya menolak ajakan mereka bermain. Bagaimanapun juga, rasanya jadi tidak nyaman untuk menjadi seseorang yang berbeda. Makanya, saya menghargainya dengan white lie "aku ada janji sama temen". Kadang, loh, cin. Kadang. Hoho.
***
Setelah melewati ujian tengah semester di sini, saya semakin bisa merasakan betapa semangatnya anak-anak Korea dalam hal belajar. Mereka tidak malu untuk mengatakan bahwa mereka harus menolak sebuah ajakan bermain karena mereka merasa harus belajar. Jujur, waktu di Indonesia saya kadang bohong, "aku ada janji sama temen" demi menghindari teman yang bilang, "sok rajin" atau "sok pinter" atau "ciye belajar" waktu saya menolak ajakan mereka bermain. Bagaimanapun juga, rasanya jadi tidak nyaman untuk menjadi seseorang yang berbeda. Makanya, saya menghargainya dengan white lie "aku ada janji sama temen". Kadang, loh, cin. Kadang. Hoho.
Dari sini saya semakin menghargai teman-teman yang rajin belajar. Siapa sih kita yang seenak udel bilang seseorang "sok rajin". Kita nggak boleh jadi penghambat untuk orang lain. Lainnya lagi menyoal bahasa Inggris. Saya paling kesal kalau ada yang ngomong bahasa Inggris, kemudian teman yang lainnya malah meledek "ah keminggris kowe!" atau berekspresi nyinyir dari belakang. Siapa sih kita yang seenak udel menghalangi orang yang mau belajar. Selama kita masih bersikap seperti itu, nggak heran kalau bangsa kita nggak maju-maju. Selama tempatnya pas, sesuai dengan audiens, kenapa kita menghalangi? Toh, bahasa kita juga hasil serapan dari berbagai bahasa.
Duh, malah marah. Yuk, kembali ke laptop.
Seberapa Keras
Malam kemarin, saya ceting dengan sahabat sepermainan saya dari SMP, namanya +Muhammad Surya Nugraha. Waktu itu pukul dua pagi,sudah sangat mengantuk, tapi kadung kangen. Saya mengirim satu foto teman sekamar saya yang saya ambil secara sembunyi-sembunyi.
Foto 1: Yeongchi yang sedang belajar di meja belajarnya. Kata Uya, "itu meja belajar apa meja rias". Haha. Foto 2: Foto ruang belajar di perpustakaan utama di hari Minggu |
Hal seperti ini juga bisa saya temui di perpustakaan KNU. Setiap hari perpustakaan buka sampai tengah malam dan setiap menjelang ujian akan buka sampai 24 jam. Kerennya lagi, ada yang bawa selimut dan tidur di ruang belajar itu. Pengen deh rasanya usul sama Pak Rektor supaya dibuatkan perpustakaan yang bisa mengakomodasi mahasiswa sampai malam begitu. Tidak harus sekeren ini, paling tidak cukup nyaman dan cukup besar.
Belajar di luar negeri itu sangat kompetitif, ya. Membuat malu kalau sudah dikirim jauh-jauh dari Indonesia tapi tidak bisa sebaik teman-teman di sini. Kadang rasanya jadi berat di pundak.
Belajar di luar negeri itu sangat kompetitif, ya. Membuat malu kalau sudah dikirim jauh-jauh dari Indonesia tapi tidak bisa sebaik teman-teman di sini. Kadang rasanya jadi berat di pundak.
Bekerja di Restoran Indonesia di Ansan
Enak, ya tinggal di Korea? Iya.
Tapi ...
Tapi ...
Tapi sepi, karena tidak ada ibu, bapak, mas, teteh, ponakan, sahabat kosan, sahabat ngampus.
Dan ...
Dan di balik setiap kesenangan, saya juga minum pil pahit kehidupan, kok. Banyak malah. Hidup ini memang pahit dan semua orang merasakannya. Kali ini saya coba yang lainnya.
Setelah merasakan bulan pertama di Korea, walaupun tinggal di kampus yang jauh dari ibu kota, tapi saya tetap bisa merasakan betapa lemah nilai tukar rupiah untuk pengganjal perut. Ya, saya tidak mau bilang harga makanan di Korea mahal, karena mata uang Korea sendiri cukup kuat untuk para warga negaranya bisa hidup layak. Jadi, tetap saja saya termasuk kurang beruntung. Beasiswa yang saya miliki pun belum menutupi uang makan saya yang spesial. Saya tidak bisa makan makanan yang mengandung babi di kantin kampus, jadi, saya harus bersiasat.
Setiap hari Minggu, saya bekerja di sebuah restoran Indonesia di daerah Ansan, namanya Rumah Makan Batavia. Ansan adalah sebuah kawasan manufaktur di Korea. Di sana ada banyak pekerja outsourcing, dengan populasi orang Indonesia terbanyak kedua. Termasuk pelanggan di restoran Batavia tempat saya bekerja, mereka juga TKI. Saya juga bekerja dengan TKI, berarti saya juga TKI. Hahaha. Tapi nggak bayar remitansi (semacam "pajak" pekerja dari luar negeri yang dibayarkan ke kas negara).
Chuncheon, tempat saya tinggal, berlokasi di Korea Selatan bagian utara, sedangkan Ansan di Korea Selatan bagian selatan. Butuh waktu tiga jam perjalanan menggunakan MRT (Mass Rapid Trans). Saya masuk kerja pukul 10.00 dan pulang pukul 20.00. Berarti, setidaknya, saya berangkat pukul 06.00 pagi dan sampai kembali pukul 23.00. Di restoran Batavia ini saya bekerja sebagai tukang cuci piring. Sambil bantu-bantu jadi koki dan menjadi pramu saji juga. Apa saja. Yang penting sibuk dan berdiri 10 jam.
Kawasan manufaktur Ansan; musala; wayang di meja sajangnim (juragan); MMT Batavia di gedung lantai dua; jajanan tombo kangen
|
Chuncheon, tempat saya tinggal, berlokasi di Korea Selatan bagian utara, sedangkan Ansan di Korea Selatan bagian selatan. Butuh waktu tiga jam perjalanan menggunakan MRT (Mass Rapid Trans). Saya masuk kerja pukul 10.00 dan pulang pukul 20.00. Berarti, setidaknya, saya berangkat pukul 06.00 pagi dan sampai kembali pukul 23.00. Di restoran Batavia ini saya bekerja sebagai tukang cuci piring. Sambil bantu-bantu jadi koki dan menjadi pramu saji juga. Apa saja. Yang penting sibuk dan berdiri 10 jam.
Capek? Dengar dulu ceritanya. Tapi, tetap alhamdulillah loh menurut saya, pengalaman ini benar-benar worth it. It makes me think. Asiknya lagi, karena bisa ambil makan Indonesia secara cuma-cuma di dapur. Sekali datang untuk bekerja paruh waktu selama 10 jam itu, saya bisa mengantongi Rp500.000,00 dan satu botol minuman Indonesia yang ada di warung sebelah. Uang sebanyak itu cukup untuk makan enak selama seminggu ke depan.
Dapur; tempat duduk pengunjung dari jendela dapur; sinetronnnnnnn!!; menu makanan, mesin bilas cuci piring |
Saya beruntung sekali karena sajangnim (juragan) saya sangat baik. Beliau adalah orang Korea, tapi jiwanya sungguh Indonesia dan ceria. Menyenangkannya lagi, karena beliau juga bisa sedikit bahasa Indonesia, "ambil minuman satu!" katanya dengan logat Korea.
Mbak Putri dan Mas Edi
Bekerja dengan mas-mas dan mbak-mbak TKI adalah pengalaman luar biasa bagi saya. Di sana, saya paling disayang oleh Mbak Putri. Mbak Putri adalah TKI dari Blitar. Dia adalah seorang jagoan neon, karena di umurnya yang baru 19 tahun ia sudah berani pergi ke Korea untuk bekerja. Sekarang umurnya sudah 35, berarti sudah 16 tahun ada di Korea. Mbak Putri sudah punya dua anak sekarang. Suaminya orang Korea dan kedua anaknya berkewarnanegaraan Korea. Bahasa Koreanya sudah khatam, tapi bahasa Indonesianya malah berantakan. Jadi, selama bekerja biasanya kami berkomunikasi dengan sedikit bahasa Jawa dan sedikit bahasa Korea.
Lainnya lagi ada Mas Edi, Pak Apri, Mas Samsul. Semuanya pakai ponsel cerdas Samsung minimal sekelas Samsung Galaxy Note. Mereka sih cukup bekerja 8 hari saja sudah cukup untuk beli ponsel keren. Jadi, kalau di Indonesia kita belagu dengan punya ponsel pintar macam begitu doang, udiks deh. Di Korea semua orang punya. Saya doang yang nggak punya Galaxy Note. Hahahaha.
Saya sih pakai Nexus. Karena saya sangat cinta Google ♥
Jadi, Saya Bisanya Apa, Ya?
Oia, kalau liat mereka, saya jadi malu deh. Saya sampai sekarang sudah bisa apa, ya? Mereka kerja keras dari kecil sampai bisa punya keluarga yang mapan dan membawa kemaslahatan buat keluarga di kampung. Eh, buat negara kita bahkan. Kalau sepulangnya dari pertukaran pelajar ini saya cuma bisa bawa oleh-oleh, buat apa saya diberangkatkan? Apa bedanya dengan jalan-jalan? Buat apa saya diluluskan?
Bukannya mau sok idealis, bagaimanapun pikiran semacam itu akan muncul kalau kita sadar sebenarnya dengan menjadi mahasiswa (apa lagi saya di kampus negeri) artinya saya jadi tempat "investasi" buat masyarakat yang uangnya saya pakai untuk kuliah. Waktu berkenalan dengan beberapa TKI, banyak yang bilang, "situ sih enak kuliah". Oh... Rasanya... Mmmm... Kadang jadi merasa bersalah, walaupun, ya ... itu bukan salah saya ...
Memasak Kimbap dan Tteok
Yang pake kerudung cantik, ya? *plak* |
Setiap hari Senin dan Kamis malam, jadwal saya adalah belajar Bahasa Korea. Kelas ini adalah kelas Bahasa Korea untuk pemula. Selain dengan mahasiswa internasional di KNU, siswa di kelas Korea ini juga merupakan para pekerja. Beberapa di antaranya adalah guru Bahasa Inggris di sekolah-sekolah Korea. Gurunya tentu orang Korea dan kelas ini dipandu dalam bahasa Korea.
Nah, malam ini adalah kelas yang sangat spesial dari kelas Bahasa Korea yang saya ikuti. Hari ini, kami belajar memasak makanan Korea. Yuhu! Kami membuat tteok (kue beras, 꺽) dan kimbap (nasi gulung, 김밥).
Langganan:
Postingan (Atom)