Senin, 30 Desember 2013

Visit to The SKY

Bicara soal pendidikan, ada tiga universitas terbaik (ivy league) di Korea yang sering disebut SKY. SKY adalah akronim dari Seoul National University, Korea University, dan Yonsei University. Di penghujung kegiatan exchange ini, Kak Isna dan aku berkunjung ke kampus-kampus itu. Ceritanya, nih, sedang survei kampus masa depan. Hahaha, Aamiin.

Y

K

S

Jumat, 13 Desember 2013

Winter in Chuncheon

When the campus lake starts freezing in the beginning of winter, under the big bright yellow sun, in a sparkle afternoon

In the midst of snowy square! i had a snow battle with my fella

In my room

Through the window pane

Sabtu, 07 Desember 2013

Pesta Demokrasi di Kampus Korea

Pemilu di kampus Korea adalah pemilu yang paling lucu buat saya. Waktu kuliah di Undip, saya menahan geli karena ada salah satu calon ketua badan mahasiswa yang memasang iklan di billboard jalan menuju kampus. Bagus, kok. Menghidupkan demokrasi. Saya pro. Tapi, letak ketidakadilannya adalah kenapa hanya 1 calon? Sejak saat itu saya berpikir bahwa banyak demokrasi di tingkat kampus yang hanya marketing, bukan politik.

Di Korea, malah tim suksesnya menyanyikan yel-yel di sekitar kampus. Dua  atau tiga orang dari mereka berdiri di pintu gedung kampus, kemudian akan menjura sambil ber-yel-yel ria kalau saya lewat. Mereka tidak dibayar, tapi akan diberi jabatan kalau calon yang mereka usung bisa menduduki jabatan. Sejak saat itu saya berpikir bahwa banyak demokrasi di tingkat kampus yang hanya main untung-untungan.


Dulu waktu SMA, saya pernah begitu yakin bahwa orang-orang yang golput dalam pesta demokrasi adalah orang-orang yang lepas tanggung jawab sebagai penentu kesejahteraan negara. Posting itu juga membantu saya di kontes Internet Sehat. Iya itu benar, karena dulu saya berpikir dalam skala kecil, saya pikir informasi di pasar itu tidak terbatas, saya pikir memilih di suatu tempat itu mudah, saya pikir demokrasi dengan pemilu adalah hak politik kita. Karena saya masih SMA, tinggal di lingkungan yang kecil.

Suatu kali saya belajar Ilmu Ekonomi tentang memilih. Ada satu teori namanya teori median voter, di mana calon jangan terlalu berlebihan dan jangan terlalu kekurangan, lebih baik cari suara dari orang-orang yang menempatkannya sebagai pilihan kedua. Sejak saat itu saya berpikir, bagaimana kita bisa mendapatkan pemimpin terbaik secara mutu dan pengalaman kalau mengandalkan logika ini?

Ada satu presentasi dari Dambisa Moyo yang bercerita tentang paradoks ini. Tentang ekonomi, sih. Tapi, masih mudah dipahami.

Demokrasi oke sih, tapi ...
Sejak saya mengenal Ilmu Ekonomi dan melihat dunia baru, saya baru mengerti bahwa sesuatu akan baik di tempatnya sendiri-sendiri. Jadi, apakah pemilu di kampus itu baik? Tergantung kampusnya. Apakah demokrasi di suatu negara itu baik? Tergantung negaranya.

Mengenang Nelson Mandela di Korea

Sepeninggal Nelson Mandela, khalayak mengenang isu perbedaan warna kulit. Seluruh dunia berduka. Mulai dari New York's Times yang menyebutkan kematian beliau di salah satu berita kematian terkemuka, sampai MalesBangetDotCom yang membahas para pekicau yang tidak tau Nelson Mandela, semuanya membahas hal yang sama.

Buat kita yang tinggal di Indonesia, rasanya mungkin biasa saja. Kita patut merasa beruntung sudah lahir di Indonesia dan selalu merasa nyaman untuk hidup di tempat yang plural. Sejak kecil, kita sudah diajarkan untuk jadi orang yang pikirannya terbuka.

Tapi buat saya, sedikit beda rasanya waktu mendengar berita itu di Korea. Selama tinggal di negara ini, seperti beberapa cerita saya sebelumnya, kadang ada rasa keberatan dengan menjadi berbeda secara visual. Itu bisa dipahami, kami karena Korea adalah negara yang homogen dan konfisius. Mereka sangat kolektif.

Hari ini saya bertemu dengan Sangpin oppa (Kak Sangpin) untuk mengerjakan tugas bersama. Ia menggunakan potret Nelson Mandela di akun sosial KakaoTalk-nya.

"kenapa kamu pakai foto Nelson Mandela?" Tanya saya.

"Saya punya hubungan personal dengan Nelson Mandela. Dulu, saya merasa tidak nyaman untuk bertemu dengan orang asing. Saya pikir, hanya bangsa saya yang benar. Suatu hari saya membaca bukunya dan sejak saat itu saya baru mengerti bahwa semua orang di dunia itu sama" jawabnya, seraya tersenyum.

 *efek blooming* kemudian Mas-nya pun keliatan makin tsakep...


Duh, jadi speechless. Ternyata orang Korea pernah berpikiran sampai segitunya dan berubah segitunya.

Dan.. Kalau bukan karena Nelson, mungkin saya tidak pernah punya hubungan baik dengan Kak Sangpin. 

Selamat jalan, Nelson Mandela.

Selasa, 12 November 2013

Salin dan Cetak

Pernah terpikir untuk membuat usaha swacetak seperti ini di kampus? Asik, ya? Tidak perlu ada yang jaga. Pelanggan pun hanya perlu membeli kartu swacetak dengan nilai poin tertentu yang digunakan sebagai kunci mesin cetak. Setiap kali cetak akan dikurangkan dengan nilai poin tertentu pula.




Minggu, 10 November 2013

Buddy System

Seperti janji saya sebelumnya di entri awal, saya ingin memperkenalkan Mas Changyoon--Mas yang menjemput saya dan Kak Isna di bandara, setiba di Korea. Kenapa Mas ini sangat spesial buat saya?

Tjieeeee 

Asyyiknya menjadi mahasiswa pertukaran dibandingkan dengan mahasiswa yang mengambil program gelar akademis adalah karena kita akan dipasangkan dengan seorang mahasiswa Korea selama program berlangsung. Kami menyebutnya buddy.

Ka Isna, Me and Changyoon
B
Buddy saya dan Kak Isna ini adalah mahasiswa yang mendaftar dan dipilih. Tugas Changyoong secara sederhana adalah menjadi "guardian" kami selama di Korea. Mulai dari menjemput kami di bandara, mengenalkan kami beberapa tempat makan, mengajak kami jalan-jalan di sekitar kota, membantu proses KRS akademik, membantu proses aplikasi beasiswa, memberikan panduan mengenai budaya setempat, mengurus Alien Card (kartu penduduk sementara untuk orang asing), dan mengantar kami berbelanja berbagai kebutuhan tinggal selama satu semester ke depan.

Timbal baliknya bagi Changyoon adalah pengalaman internasional, mendapatkan teman baru baru yang menyenangkan (hihihihi), practice English, olah raga nganterin kami jalan-jalan (?) berjalan kaki ke sana ke mari demi KRS, dan yang terakhir usut punya usut ia juga mendapatkan tunjangan dari kampus. Oh ... pada akhirnya ...

Buat teman-teman yang berpikir betapa nekatnya saya kuliah di Korea padahal tidak bisa bahasa Korea, maka, dengan senang hati saya perkenalkan Mas Changyoon. I never be that blind to live abroad. 



Buddy System di Undip
Sebenarnya saya sudah familiar dengan istilah ini sebelum pengalaman pertukaran pelajar. Pertama kali saya dengar istilah ini adalah dari AIESEC UNDIP. Waktu itu saya membuat proyek sosial yang mengikutkan beberapa peserta pertukaran dari beberapa negara. Selama proyek sosial tersebut semua mahasiswa asing yang ada di proyek saya juga punya buddy. Jadi, kalau teman-teman membutuhkan pengalaman internasional, bisa coba dengan manjadi buddy untuk mahasiwa asing di @AIESECUNDIP. Di kota lain juga ada AIESEC-nya, kok. Cek di sini. Tapi, pengalamannya tentu saja berbeda dari Changyoon, karena Changyoon membantu saya yang pertukaran mahasiswa untuk kuliah, sedangkan di AIESEC untuk proyek sosial. Bisa jadi teman-teman juga harus mengantar mereka pulang ke rumah host.

*malah iklan*

Sabtu, 02 November 2013

Belajar Keras, Soju Keras (3)

Entri ini adalah lanjutan dari dua entri sebelumnya, yaitu "Belajar Keras, Soju Keras" dan "Belajar Keras, Soju Keras (2)".

***

Di KNU, saya terdaftar sebagai mahasiswa di jurusan Ekonomi, sama seperti jurusan saya sebelumnya di Undip. Sebenarnya sih saya bisa ambil jurusan balet, sejarah, atau apa pun itu. Tapi, saya memilih untuk pilih yang linear saja. Hohoho.

Bagaimana dengan kuliah sebagai mahasiswa pertukaran? Susah? Enggak. Tapi, menantang. Semua kelas yang saya ikuti diberikan dalam bahasa Inggris. Saat input KRS dari portal kampus, saya bisa memilih hanya kelas-kelas internasional. Saya pilih empat kelas: dua mata kuliah ekonomi, satu perdagangan, dan satu kelas percakapan bahasa Inggris. Dosen yang mengajar keren-keren. Saya punya dua dosen dari Ethiopia, satu dosen dari Amerika dan satu dosen Korea yang -syukurlah- bahasa Inggrisnya berlogat Amerika. (FYI, Konglish [Korean English] itu lucu banget, karena mereka punya huruf yang terbatas di satu suku kata) Oia beliau pernah bekerja di PBB, loh! Waw!

Pak Jamal; tipikal kelas di Korea yang bagus, Pak Myungsoo sedang ngobrol dengan Kath

Apa Bedanya Belajar di Korea dan di Indonesia? Pada dasarnya sama saja. Ada presentasi, tugas kelompok. Apa kelasnya aktif? Tidak. Kelasnya agak pasif. Namanya juga Asia. Ehehehe.



Kadang kala dosennya juga bertanya, kok. Usahakan menjawab, jangan bengong. Bagaimanapun, sebagai representasi Indonesia kita harus punya harga diri di depan mahasiswa internasional. Hoho. Oia, mahasiswa Korea di hampir semua kelas yang saya temui entah mengapa lebih suka duduk di belakang. Sama persis seperti teman-teman di kampus rumah. Padahal, duduk di belakang itu menurut saya nggak enak. Lebih enak di depan, karena tidak ada yang menghalangi dan tulisan dosennya jadi terlihat lebih jelas. "Duduk di depan lebih sering ditunjuk guru/dosen" itu cuma mitos.

Belajar Keras, Soju Keras (2)

Entri ini adalah entri lanjutan dari entri "Belajar Keras, Soju Keras"

***

Setelah melewati ujian tengah semester di sini, saya semakin bisa merasakan betapa semangatnya anak-anak Korea dalam hal belajar. Mereka tidak malu untuk mengatakan bahwa mereka harus menolak sebuah ajakan bermain karena mereka merasa harus belajar. Jujur, waktu di Indonesia saya kadang bohong, "aku ada janji sama temen" demi menghindari teman yang bilang, "sok rajin" atau "sok pinter" atau "ciye belajar" waktu saya menolak ajakan mereka bermain. Bagaimanapun juga, rasanya jadi tidak nyaman untuk menjadi seseorang yang berbeda. Makanya, saya menghargainya dengan white lie "aku ada janji sama temen". Kadang, loh, cin. Kadang. Hoho.

Dari sini saya semakin menghargai teman-teman yang rajin belajar. Siapa sih kita yang seenak udel bilang seseorang "sok rajin". Kita nggak boleh jadi penghambat untuk orang lain. Lainnya lagi menyoal bahasa Inggris. Saya paling kesal kalau ada yang ngomong bahasa Inggris, kemudian teman yang lainnya malah meledek "ah keminggris kowe!" atau berekspresi nyinyir dari belakang. Siapa sih kita yang seenak udel menghalangi orang yang mau belajar. Selama kita masih bersikap seperti itu, nggak heran kalau bangsa kita nggak maju-maju. Selama tempatnya pas, sesuai dengan audiens, kenapa kita menghalangi? Toh, bahasa kita juga hasil serapan dari berbagai bahasa.

Duh, malah marah. Yuk, kembali ke laptop.

Seberapa Keras
Malam kemarin, saya ceting dengan sahabat sepermainan saya dari SMP, namanya +Muhammad Surya Nugraha. Waktu itu pukul dua pagi,sudah sangat mengantuk, tapi kadung kangen. Saya mengirim satu foto teman sekamar saya yang saya ambil secara sembunyi-sembunyi.

Foto 1: Yeongchi yang sedang belajar di meja belajarnya. Kata Uya, "itu meja belajar apa meja rias". Haha.
Foto 2: Foto ruang belajar di perpustakaan utama di hari Minggu

Hal seperti ini juga bisa saya temui di perpustakaan KNU. Setiap hari perpustakaan buka sampai tengah malam dan setiap menjelang ujian akan buka sampai 24 jam. Kerennya lagi, ada yang bawa selimut dan tidur di ruang belajar itu. Pengen deh rasanya usul sama Pak Rektor supaya dibuatkan perpustakaan yang bisa mengakomodasi mahasiswa sampai malam begitu. Tidak harus sekeren ini, paling tidak cukup nyaman dan cukup besar.

Belajar di luar negeri itu sangat kompetitif, ya. Membuat malu kalau sudah dikirim jauh-jauh dari Indonesia tapi tidak bisa sebaik teman-teman di sini. Kadang rasanya jadi berat di pundak.


Bekerja di Restoran Indonesia di Ansan

Enak, ya tinggal di Korea? Iya.

Tapi ...

Tapi sepi, karena tidak ada ibu, bapak, mas, teteh, ponakan, sahabat kosan, sahabat ngampus.

Dan ...

Dan di balik setiap kesenangan, saya juga minum pil pahit kehidupan, kok. Banyak malah. Hidup ini memang pahit dan semua orang merasakannya. Kali ini saya coba yang lainnya. 



Setelah merasakan bulan pertama di Korea, walaupun tinggal di kampus yang jauh dari ibu kota, tapi saya tetap bisa merasakan betapa lemah nilai tukar rupiah untuk pengganjal perut. Ya, saya tidak mau bilang harga makanan di Korea mahal, karena mata uang Korea sendiri cukup kuat untuk para warga negaranya bisa hidup layak. Jadi, tetap saja saya termasuk kurang beruntung. Beasiswa yang saya miliki pun belum menutupi uang makan saya yang spesial. Saya tidak bisa makan makanan yang mengandung babi di kantin kampus, jadi, saya harus bersiasat. 

Setiap hari Minggu, saya bekerja di sebuah restoran Indonesia di daerah Ansan, namanya Rumah Makan Batavia. Ansan adalah sebuah kawasan manufaktur di Korea. Di sana ada banyak pekerja outsourcing, dengan populasi orang Indonesia terbanyak kedua. Termasuk pelanggan di restoran Batavia tempat saya bekerja, mereka juga TKI. Saya juga bekerja dengan TKI, berarti saya juga TKI. Hahaha. Tapi nggak bayar remitansi (semacam "pajak" pekerja dari luar negeri yang dibayarkan ke kas negara).



Kawasan manufaktur Ansan; musala; wayang di meja sajangnim (juragan); MMT Batavia di gedung lantai dua; jajanan tombo kangen

Chuncheon, tempat saya tinggal, berlokasi di Korea Selatan bagian utara, sedangkan Ansan di Korea Selatan bagian selatan. Butuh waktu tiga jam perjalanan menggunakan MRT (Mass Rapid Trans). Saya masuk kerja pukul 10.00 dan pulang pukul 20.00. Berarti, setidaknya, saya berangkat pukul 06.00 pagi dan sampai kembali pukul 23.00. Di restoran Batavia ini saya bekerja sebagai tukang cuci piring. Sambil bantu-bantu jadi koki dan menjadi pramu saji juga. Apa saja. Yang penting sibuk dan berdiri 10 jam.

Capek? Dengar dulu ceritanya. Tapi, tetap alhamdulillah loh menurut saya, pengalaman ini benar-benar worth it. It makes me think. Asiknya lagi, karena bisa ambil makan Indonesia secara cuma-cuma di dapur. Sekali datang untuk bekerja paruh waktu selama 10 jam itu, saya bisa mengantongi Rp500.000,00 dan satu botol minuman Indonesia yang ada di warung sebelah. Uang sebanyak itu cukup untuk makan enak selama seminggu ke depan.

Dapur; tempat duduk pengunjung dari jendela dapur; sinetronnnnnnn!!; menu makanan, mesin bilas cuci piring

Saya beruntung sekali karena sajangnim (juragan) saya sangat baik. Beliau adalah orang Korea, tapi jiwanya sungguh Indonesia dan ceria. Menyenangkannya lagi, karena beliau juga bisa sedikit bahasa Indonesia, "ambil minuman satu!" katanya dengan logat Korea.

Mbak Putri dan Mas Edi
Bekerja dengan mas-mas dan mbak-mbak TKI adalah pengalaman luar biasa bagi saya. Di sana, saya paling disayang oleh Mbak Putri. Mbak Putri adalah TKI dari Blitar. Dia adalah seorang jagoan neon, karena di umurnya yang baru 19 tahun ia sudah berani pergi ke Korea untuk bekerja. Sekarang umurnya sudah 35, berarti sudah 16 tahun ada di Korea. Mbak Putri sudah punya dua anak sekarang. Suaminya orang Korea dan kedua anaknya berkewarnanegaraan Korea. Bahasa Koreanya sudah khatam, tapi bahasa Indonesianya malah berantakan. Jadi, selama bekerja biasanya kami berkomunikasi dengan sedikit bahasa Jawa dan sedikit bahasa Korea.

Lainnya lagi ada Mas Edi, Pak Apri, Mas Samsul. Semuanya pakai ponsel cerdas Samsung minimal sekelas Samsung Galaxy Note. Mereka sih cukup bekerja 8 hari saja sudah cukup untuk beli ponsel keren. Jadi, kalau di Indonesia kita belagu dengan punya ponsel pintar macam begitu doang, udiks deh. Di Korea semua orang punya. Saya doang yang nggak punya Galaxy Note. Hahahaha.


Saya sih pakai Nexus. Karena saya sangat cinta Google 

Jadi, Saya Bisanya Apa, Ya?
Oia, kalau liat mereka, saya jadi malu deh. Saya sampai sekarang sudah bisa apa, ya? Mereka kerja keras dari kecil sampai bisa punya keluarga yang mapan dan membawa kemaslahatan buat keluarga di kampung. Eh, buat negara kita bahkan. Kalau sepulangnya dari pertukaran pelajar ini saya cuma bisa bawa oleh-oleh, buat apa saya diberangkatkan? Apa bedanya dengan jalan-jalan? Buat apa saya diluluskan?

Bukannya mau sok idealis, bagaimanapun pikiran semacam itu akan muncul kalau kita sadar sebenarnya dengan menjadi mahasiswa (apa lagi saya di kampus negeri) artinya saya jadi tempat "investasi" buat masyarakat yang uangnya saya pakai untuk kuliah. Waktu berkenalan dengan beberapa TKI, banyak yang bilang, "situ sih enak kuliah". Oh... Rasanya... Mmmm... Kadang jadi merasa bersalah, walaupun, ya ... itu bukan salah saya ...



Memasak Kimbap dan Tteok

Yang pake kerudung cantik, ya? *plak*

Setiap hari Senin dan Kamis malam, jadwal saya adalah belajar Bahasa Korea. Kelas ini adalah kelas Bahasa Korea untuk pemula. Selain dengan mahasiswa internasional di KNU, siswa di kelas Korea ini juga merupakan para pekerja. Beberapa di antaranya adalah guru Bahasa Inggris di sekolah-sekolah Korea. Gurunya tentu orang Korea dan kelas ini dipandu dalam bahasa Korea.

Nah, malam ini adalah kelas yang sangat spesial dari kelas Bahasa Korea yang saya ikuti. Hari ini, kami belajar memasak makanan Korea. Yuhu! Kami membuat tteok (kue beras, 꺽) dan kimbap (nasi gulung, 김밥).

Selasa, 29 Oktober 2013

Dilatasi Waktu

Saya sering kali mendengar orang yang mengeluh. Katanya, waktu begitu cepat berjalan. Saya juga sering merasa demikian. Beberapa waktu ke belakang ini, saya membuat beberapa kemajuan kecil dengan membuat waktu menjadi terdilatasi. Tentu saja, maksudnya secara relatif terhadap diri saya sendiri. Hahaha. 


Buat saya, ada tiga hal yang bisa membuat waktu menjadi terasa begitu lama.

  1. Waktu yang "gemuk" dan melelahkan
    Saat kita membuat waktu itu menjadi "gemuk" dan melelahkan, waktu akan terasa lebih lama. Bisa jadi karena kita sangat fokus dan membuat otak lelah, kerja keras sampai otot lelah; atau memang sangat membenci keadaannya alias capek hati.

  2. Memotong waktu menjadi bagian kecil
    Kedua dengan memotong dan merencakan hal menjadi bagian-bagian kecil. Saya pakai aplikasi widget penghitung hari mundur di ponsel. Sangat membantu mengingatkan waktu dan membuat sisa-sisa hari jadi semakin berharga. 

  3. Menuliskannya
    Sejak kecil saya menyukai waktu sendirian. Bukan kesepian, pun kehidupan sosial saya tidak buruk, kok. Saya hanya sangat suka bermain dengan "teman" lain di kepala saya, kemudian kami menulis. Menulis itu membuat kami berdua lelah. Itu membuat waktu saya cukup terdilatasi. Ketika saya membaca lagi tulisan itu, saya menjadi lebih memahami diri saya sendiri.

Minggu, 27 Oktober 2013

Pulau Nami untuk yang Mau Jatuh Cinta (Lagi)















Liburan kali ini saya pergi ke Pulau Nami. Di tempat inilah film Winter Sonata -yang bikin saya sesenggukan itu- mengambil adegan paling romantisnya. Ah, iya ... ini sepotong lagu dari suara ngepas dan gitar cempreng saya yang mengiringi. Semoga tidak basi untuk menemani hari. Sungguh pulau ini adalah tempat yang indah untuk (mengingat rasanya) jatuh cinta (lagi) dengan manisnya hari dan daun warna-warni.

P.S. Terima kasih untuk tiga kakak-kakak ganteng Chuncheon Famliy! 

Senin, 21 Oktober 2013

Makanan Kesukaanku di Korea

Ada banyak cara untuk melayani perut selama program pertukaran pelajar di Korea. Setelah cerita tentang adab makan dan budaya makan anak kuliahan yang normal, sekarang aku mau cerita tentang makanan-makanan kesukaanku selama di Korea. Oia, ada cerita menarik di balik setiap makanan itu, loh! Sini-sini kuceritakan!
Nah, kalau ini namanya Camci Chiggae. Ini sup tuna yang paliing aku suka. Rasanya pedas, tapi membuat adiksi dan hangat perut

Kadang juga makannya masak-masak sendiri, kok. Nebeng masak di kosannya teman. Waktu itu, kami masak nasi goreng khas Indonesia. Di lain waktu, temanku membuat makanan khas dari temanku masing-masing. Oia, kalau ini grup Asia Tenggara + Asia Timur. Yeay ASEAN+!


Kalau ini namanya Campong. Sup Korea yang pedas tapi enak tapi pedas tapi enak. 

Kalau ini sih sudah dibahas di posting sebelumnya. Ini makanan harianku! Sehat? Banget!

Di dekat kampus Chuncheon ada satu restoran mie Vietnam yang enak. Namanya Hanoy Byeol. Vietnam yg terkenal dengan mie-nya itu benar-benar nendang mie-nya. Serius! Nomor dua setelah Indomie!

Nyum nyum. Kalau ini namnaya Pongopang. Kue ikan ini isinya kacang merah. Enaaak banget kalau dimakan waktu hangat-hangat.

Hummm ini apa ya... Aku lupa namanya. Sebenarnya ini adalah makanan Jepang. Kamu bisa lihat kan di situ ada ikan mentah? Tapi makanan Jepang ini sudah dimodifikasi dengan rasa Korea. Makanya, di situ bisa dilihat sambal merah. Sambal merah itu adalah Gochujang (pasta khas Korea)

Dalkkalbi Chuncheon! Aaaaah ini yang paling enak sedunia. Ayam, sambel Korea, panas-panas, dimakan bareng temen-temen di musim dingin. Ah udah laaah..... 

Ini apa ya.. Humm... Ini makanan aneh yang kubeli di Seoul. Rasanya lucu banget, soalnya lauk yang basak-basah di pinggir itu rasanya dingin....


Yang ini namanya Pat bingsu. Kalau hari sedang hujan, paling enak makan es krim ini. Harganya cuma 3500 won. Lucu kan, kenapa malah di kala hari dingin kami suka minum yang dingin-dingin? Jawabannya adalah untuk membantu badan beradaptasi dengan suhu dingin. Kalau malah ditolak dinginnya, kita bisa terjebak dalam selimut lalu malas begerak keluar. Mager terus di kamar dan istilahnya sih ngebabi (alias pingging out atau penggemukan)
Nah kalau ini namanya Cikin. Cikin alias Ciken adalah makanan kebersamaan buat mahasiswa. Biasanya kami akan pesan satu box ayam goreng ini untuk dikiirm ke kamar. Lalu, dimakan bersama-sama. Nggak nanggung-nanggung, makan beginian jam 11 malam. Itu pun temannya adalah minuman soda. Rasanya penuh dosa banget kalau diingat-ingat. Yatapi nggak papa, karena ini pun occasional. Enjoy!

JJS (Jalan-jalan Sore)






Sabtu, 19 Oktober 2013

Moeslem Society

Banyak mengeluh tentang berhijab di negara Suju dan soju ini membuat saya menyesal. Why am I mad about one of the best decisions I have ever made? Dipikir lagi, boleh jadi ini karena saya tidak tinggal di ibu kota. Tinggal di Chuncheon -sebuah daerah sub-urban jika tidak ingin dikatakan deso, haha- rasanya seperti 'alien', tapi kalau sudah ke Seoul, ya biasa saja, sih. Harusnya, lama-lama di sini pun jadi biasa saja, sih.

Beruntung ada perkumpulan mahasiswa Indonesia yang mengenalkan saya pada Moeslem Society di Chuncheon. Hari ini kami semua berkumpul untuk menghadiri halal bi halal Idul Adha. Ini adalah kedua kali saya mengikuti pertemuan dengan mereka. Komunitas ini punya ruangan sediaan kampus (basecamp) yang biasa kami sebut "our masjid". Sedangkan sebelumnya kami pergi kopi darat ke kafe.

Ada sekitar 50 orang yang menghadiri halal bi halal ini. Bisa ditebak, yang ada orang-orang Timur Tengah, Asia Selatan dan Tenggara. Oia, ada juga dua orang Korea yang datang ke acara ini. Mereka tidak beragama Islam (bahkan saya tidak tau apa mereka mengenal Tuhan), mereka hanya datang dan melihat (saja [dulu]). Yah, semoga. Oh, semoga. Amin.

Hari ini saya merasa sangat nyaman. Kalau boleh udik, saya mau bilang ini pertama kalinya saya diimami oleh orang Arab. Saya suka lantunan bacaan Qur'annya yang empuk. Saya suka bisa berkomunikasi dengan mereka yang mulutnya banyak berdzikir, bahkan dalam sekadar percakapan. Rasanya kangen, kangen. Apalagi kalau ngobrol kata sapaannya "brother-sister" begitu. "Alhamdulillah, we've arrived, sister!", kemudian "ah.. jazakallah khairan katsiran, syukron for dropping us to here, brother!" *opening the door*

Sisters! 
Komunitas Muslim di Chuncheon berkumpul bersama
Malam yang spesial, karena malam ini kami, warga Indonesia, yang menyiapkan makanan untuk jamuan malam. Potret ini adalah Mas Muhlisin alias Pak RT sedang meladeni makanan Indonesia. Pecel!
Makan bersama

Makasih ya Allah udah nemuin aku sama mereka di tempat yang gersang ini.

Bonus: Naveed and our little beautiful doll, Ashia. Oia, semua foto yang ada di sini punya Naveed :)