Enak, ya tinggal di Korea? Iya.
Tapi ...
Tapi sepi, karena tidak ada ibu, bapak, mas, teteh, ponakan, sahabat kosan, sahabat ngampus.
Dan ...
Dan di balik setiap kesenangan, saya juga minum pil pahit kehidupan, kok. Banyak malah. Hidup ini memang pahit dan semua orang merasakannya. Kali ini saya coba yang lainnya.
Setelah merasakan bulan pertama di Korea, walaupun tinggal di kampus yang jauh dari ibu kota, tapi saya tetap bisa merasakan betapa lemah nilai tukar rupiah untuk pengganjal perut. Ya, saya tidak mau bilang harga makanan di Korea mahal, karena mata uang Korea sendiri cukup kuat untuk para warga negaranya bisa hidup layak. Jadi, tetap saja saya termasuk kurang beruntung. Beasiswa yang saya miliki pun belum menutupi uang makan saya yang spesial. Saya tidak bisa makan makanan yang mengandung babi di kantin kampus, jadi, saya harus bersiasat.
Setiap hari Minggu, saya bekerja di sebuah restoran Indonesia di daerah Ansan, namanya Rumah Makan Batavia. Ansan adalah sebuah kawasan manufaktur di Korea. Di sana ada banyak pekerja
outsourcing, dengan populasi orang Indonesia terbanyak kedua. Termasuk pelanggan di restoran Batavia tempat saya bekerja, mereka juga TKI. Saya juga bekerja dengan TKI, berarti saya juga TKI. Hahaha. Tapi nggak bayar remitansi (semacam "pajak" pekerja dari luar negeri yang dibayarkan ke kas negara).
|
Kawasan manufaktur Ansan; musala; wayang di meja sajangnim (juragan); MMT Batavia di gedung lantai dua; jajanan tombo kangen
|
Chuncheon, tempat saya tinggal, berlokasi di Korea Selatan bagian utara, sedangkan Ansan di Korea Selatan bagian selatan. Butuh waktu tiga jam perjalanan menggunakan
MRT (Mass Rapid Trans). Saya masuk kerja pukul 10.00 dan pulang pukul 20.00. Berarti, setidaknya, saya berangkat pukul 06.00 pagi dan sampai kembali pukul 23.00. Di restoran Batavia ini saya bekerja sebagai tukang cuci piring. Sambil bantu-bantu jadi koki dan menjadi pramu saji juga. Apa saja. Yang penting sibuk dan berdiri 10 jam.
Capek? Dengar dulu ceritanya. Tapi, tetap alhamdulillah loh menurut saya, pengalaman ini benar-benar worth it. It makes me think. Asiknya lagi, karena bisa ambil makan Indonesia secara cuma-cuma di dapur. Sekali datang untuk bekerja paruh waktu selama 10 jam itu, saya bisa mengantongi Rp500.000,00 dan satu botol minuman Indonesia yang ada di warung sebelah. Uang sebanyak itu cukup untuk makan enak selama seminggu ke depan.
|
Dapur; tempat duduk pengunjung dari jendela dapur; sinetronnnnnnn!!; menu makanan, mesin bilas cuci piring |
Saya beruntung sekali karena sajangnim (juragan) saya sangat baik. Beliau adalah orang Korea, tapi jiwanya sungguh Indonesia dan ceria. Menyenangkannya lagi, karena beliau juga bisa sedikit bahasa Indonesia, "ambil minuman satu!" katanya dengan logat Korea.
Mbak Putri dan Mas Edi
Bekerja dengan mas-mas dan mbak-mbak TKI adalah pengalaman luar biasa bagi saya. Di sana, saya paling disayang oleh Mbak Putri. Mbak Putri adalah TKI dari Blitar. Dia adalah seorang jagoan neon, karena di umurnya yang baru 19 tahun ia sudah berani pergi ke Korea untuk bekerja. Sekarang umurnya sudah 35, berarti sudah 16 tahun ada di Korea. Mbak Putri sudah punya dua anak sekarang. Suaminya orang Korea dan kedua anaknya berkewarnanegaraan Korea. Bahasa Koreanya sudah khatam, tapi bahasa Indonesianya malah berantakan. Jadi, selama bekerja biasanya kami berkomunikasi dengan sedikit bahasa Jawa dan sedikit bahasa Korea.
Lainnya lagi ada Mas Edi, Pak Apri, Mas Samsul. Semuanya pakai ponsel cerdas Samsung minimal sekelas Samsung Galaxy Note. Mereka sih cukup bekerja 8 hari saja sudah cukup untuk beli ponsel keren. Jadi, kalau di Indonesia kita belagu dengan punya ponsel pintar macam begitu doang, udiks deh. Di Korea semua orang punya. Saya doang yang nggak punya Galaxy Note. Hahahaha.
Saya sih pakai Nexus. Karena saya sangat cinta Google
♥
Jadi, Saya Bisanya Apa, Ya?
Oia, kalau liat mereka, saya jadi malu deh. Saya sampai sekarang sudah bisa apa, ya? Mereka kerja keras dari kecil sampai bisa punya keluarga yang mapan dan membawa kemaslahatan buat keluarga di kampung. Eh, buat negara kita bahkan. Kalau sepulangnya dari pertukaran pelajar ini saya cuma bisa bawa oleh-oleh, buat apa saya diberangkatkan? Apa bedanya dengan jalan-jalan? Buat apa saya diluluskan?
Bukannya mau sok idealis, bagaimanapun pikiran semacam itu akan muncul kalau kita sadar sebenarnya dengan menjadi mahasiswa (apa lagi saya di kampus negeri) artinya saya jadi tempat "investasi" buat masyarakat yang uangnya saya pakai untuk kuliah. Waktu berkenalan dengan beberapa TKI, banyak yang bilang, "situ sih enak kuliah". Oh... Rasanya... Mmmm... Kadang jadi merasa bersalah, walaupun, ya ... itu bukan salah saya ...