Jumat, 20 September 2013
Sandang di Kandang
Selama tinggal di Korea, saya merasa lebih mandiri. Dulu waktu kuliah saya tergantung sama Farah (nama motor saya) dan menyerahkan segala urusan pakaian di laundrymat terdekat. Tapi, sekarang ceritanya berbeda. Pertama saya harus pergi ke mana-mana dengan berjalan kaki, serta mengurus sandang di kandang sendiri.
Di entri kemarin, tentang asrama, masih ada satu sudut yang belum saya eksplorasi, yaitu tempat cuci-cuci! Tempat cuci ini ada di lantai bawah tanah. Untuk menggunakan mesin cuci ini, kita harus membayar 100 won untuk 12 menit. Jika waktunya kurang, bisa memasukkan koin lagi. Biasanya, saya akan memasukkan 600 won atau kalau dikonversikan menjadi Rp6.000,00, dengan frekuensi mencuci 4 kali sebulan. Cukup murah jika dibandingkan dengan biaya waktu dan kesempatan kalau kita memilih untuk mencuci dengan tangan, tapi gratis.
Mesin apa tangan? |
Clung ... |
Kalau kita tidak punya uang koin, uang koinnya bisa ditukarkan di mesin Pak Ogah ini. |
Kalau sudah kering, bisa disetrika sendiri di sini |
Asrama Gukjiwon dan Isinya
Setelah saya menulis entri bertapa serunya berinteraksi dengan tiga teman sekamar dari Korea, sekarang saya akan keluar kamar dan jalan-jalan di sekitar.
Dari beranda asrama
Melalui pintu ini saya membuka dan menutup hari
Dibuka dengan sidik jari terverifikasi
Ditutup. Lalu menekan tombol kalau mau keluar lagi
Disambut dengan cermin besar
(dan beberapa cermin lain
yang bertaburan di mana-mana)
Diperingatkan oleh papan pengumuman
Yuk kita ke lantai tiga! Kamar saya di sana!
Kamar saya di 315, berarti belok kanan
"Saya pulaaaang!"
"Selamat datang! How was your day?"
"Capek ... Ayo kita tidur saja ..."
"Baiklah, tapi jangan lupa ritualnya ..."
Kita buang air kecil
Lalu membasuh muka dan kaki
***
Oia, saya menemukan satu video menarik dari Forghani, seorang mahasiswa asing program doktor di KNU dan ceritanya selama tinggal di KNU.
Dari beranda asrama |
Melalui pintu ini saya membuka dan menutup hari |
Dibuka dengan sidik jari terverifikasi |
Ditutup. Lalu menekan tombol kalau mau keluar lagi |
Disambut dengan cermin besar (dan beberapa cermin lain yang bertaburan di mana-mana) |
Diperingatkan oleh papan pengumuman |
Yuk kita ke lantai tiga! Kamar saya di sana! |
Kamar saya di 315, berarti belok kanan |
"Saya pulaaaang!" |
"Selamat datang! How was your day?" |
"Capek ... Ayo kita tidur saja ..."
|
"Baiklah, tapi jangan lupa ritualnya ..." |
Kita buang air kecil |
Lalu membasuh muka dan kaki |
***
Oia, saya menemukan satu video menarik dari Forghani, seorang mahasiswa asing program doktor di KNU dan ceritanya selama tinggal di KNU.
Sangat menyenangkan! Saya juga jadi iri dengannya, karena saya tinggal di asrama yang sedikit berbeda. Ya, KNU punya banyak asrama bagi mahasiswanya. Yang ditampilkan Forghani dalam videonya itu adalah asrama bagi yang mampu, sedangkan saya, tinggal di asrama kaum papa.
Kamis, 19 September 2013
Kamar 315
Dearest roommates, I dedicate this post for you guys. It's been a month but I think there has been so many great moments to write down. Hope you like it. Please reverse to Hangeul or English in languange tools (see dropdown options above the post-title).
Nama Indonesia: Ratna (Nama Korea: 하 진주, Ha Cinju) - ID Nama Indonesia: Bestari (Nama Korea: 이 혜옝, Lee Hyeyeong) - KR Nama Indonesia: Kamelia (Nama Korea: 김 옝지, Kim Yeongci) - KR |
ㄷㄷㄷㄷㄷㄷ! Akhirnya setelah sekian lama menikmati kamar kosan sendirian di Semarang, tiba saatnya berbagi rasa nikmatnya memonopoli sebuah wilayah dengan tiga orang roommates. Ketiganya berasal dari Korea, tepatnya dari Seoul.
Ada Hyeyong (이 헤옝), Yeongchi (안 옝지), Jihyeon (김 지혠). Dibandingkan dengan teman exchange yang lainnya, saya termasuk beruntung karena teman-teman saya ini rata-rata masih mengerti bahasa Inggris. Ka Isna punya roommate yang sama sekali nggak bisa bahasa Inggris. Tapi, berita baiknya, Kak Isna bisa sedikit bahasa Korea. Strong girl! Tapi yang terpenting bagi saya adalah karena saya bisa menemukan teman-teman yang baik seperti mereka. Selama tinggal bersama, kami tumbuh menjadi kelompok teman perempuan yang saling menyayangi dan mengasihi.
(geli bacanya)
Meja belajar, almari dan tempat tidur yang berada di atasnya, ditambah dengan tiga orang baru ini adalah rumahku di Korea. Banyak hal menarik yang terjadi di kamar 315 ini.
Kita harus memberikan banyak pengertian saat kita hidup sekamar dengan orang asing. Eh, tapi kalau saya, saya merasa sayalah yang paling banyak mendapatkan perlakuan spesial dari mereka. Terima kasih, semuanya! Pertama, karena saya sama sekali tidak bisa berbahasa Korea, maka mereka berusaha keras untuk berbicara dalam bahasa Inggris. Saya pikir itu bagus juga buat mereka berlatih. Haha. Yeongchi malah meminta saya untuk mengajarinya TOEFL. Kalau saya, saya selalu meminta mereka mengoreksi tata bahasa Korea saya.
Selain bertukar bahasa, kami juga bertukar cerita. Tentu saja saya yang paling banyak bahan cerita. Dimulai dari shalat, larangan memakan babi dan alkohol, bagaimana orang Indonesia hidup, mengenai batik, kerudung, agama Islam, Tuhan, tangan kanan dan kiri, beberapa makanan khas Indonesia yang saya bagikan, Ramadhan, dan yang paling sulit adalah untuk menjelaskan "kerokan" waktu kak Isna masuk angin. Mereka sepertinya berpikir bahwa hidup di Indonesia itu penuh dengan rasa sakit. Hahahaha.
Memang.
Bagi saya, ini adalah intinya pertukaran pelajar. Banyak orang selalu mengartikan pertukaran pelajar sebagai jalan-jalan, tapi tentu saja semuanya lebih dari itu. Makanya, saya menulis. Bagi mereka teman sekamarku, ini juga pengalaman yang sangat berharga. Terlebih, orang Korea sejak kecil jarang berinteraksi dengan orang asing. Pernah suatu kali Kak Fandy mengadakan survey buat adik-adik kecil. Pertanyaannya adalah "apa yang akan mereka lakukan ketika mereka bertemu dengan orang asing (foreigner)?" kemudian hampir semua anak mencentang pilihan "lari". Kalau di Indonesia? "Minta foto barenglah!"
Suatu waktu yang menarik buat saya adalah waktu Hyeyeong meminta saya menjadi narasumber untuk tugas kuliahnya. Proyek presentasinya adalah proyek presentasi tentang Indonesia.
Waktu itu saya sampai kelimpungan untuk menjelaskan Indonesia dari beberapa perspektif, karena Indonesia adalah sebuah negara yang heterogen. Ia sendiri pun sering kebingungan untuk membedakan mana yang budaya Indonesia dan mana yang merupakan bagian dari ajaran Islam, atau ajaran agama Islam yang sudah terasimilasi dengan tradisi asli bangsa Indonesia. Karena di Indonesia mayoritas penduduknya beragama Islam dan kebetulan saya juga menggunakan hijab, pertanyaan yang ia ajukan paling banyak berputar pada agama Islam. Hyeyeong bahkan meminjam pasmina saya untuk dipakai saat presentasi. Tentu saja saya mengiyakan dan mengajarinya. Siapa tahu dia yang awalnya tidak percaya agama bisa masuk agama Islam di kemudian hari. Amin.
Apa kabar? Nama saya Bestari |
Bonus: Cover lagu Taeyang!
Rabu, 18 September 2013
Payungnya Disimpan di Mana?
우산 = Usan, Payung
Sebelum pergantian musim, maka selama satu minggu hujan akan turun setiap hari. Misalnya saat saya datang ke sini, ketika dedaunan masih hijau dan langit bersiap untuk masuk ke musim gugur, hujan terus turun.
Di kampusku, ada satu yang menarik yaitu mesin pembungkus payung. Alat ini ada di beberapa gedung-gedung utama seperti gedung perpustakaan. Nah, sebelum masuk kita harus memasukkan payung ke mesin itu, kemudian menariknya keluar dan voila, kita akan menemukan payung kita sudah terbungkus plastik. Sangat bermanfaat! Ini membuat perpustakaan tidak becek.
Payung di Korea lucu-lucu bentuknya dan coraknya. Ada yang sangat kecil, berrenda, berbentuk pipih, dan ada juga yang transparan. Saya paling suka yang transparan! Baik laki-laki maupun perempuan biasa menggunakannya. Harganya pun cukup terjangkau. Sekitar Rp30.000,00 saja.
Selasa, 17 September 2013
The Student Festival
Minggu ketiga di bulan September adalah minggu yang sangat menyenangkan. Selain karena ini masih bulan pertama dan perasaan masih "asik-asiknya" ada d Korea, kampus KNU menyelenggarakan festival. Dalam bahasa Korea Dae Dong Jae (대동재) Baru kali ini terjun langsung ke kegiatan festifal kampus. Waktu di Semarang, malah tiap ada festival saya lewat aja. *plak*
Booth Indonesia? Yap! Festival kali ini sangat spesial di KNU. KNU baru membuka program pertukaran mahasiswa di beberapa tahun terakhir ini. Mahasiswa internasional untuk program master dan doktoral pun semakin banyak tahun ini. Setiap negara diberikan kesempatan untuk memiliki satu booth. A global village! Yuhu!
Kami, keluarga Indonesia di Chuncheon menjual masakan Indonesia. Iya, masak sendiri dong di sini. Ada mie goreng, martabak, tahu isi, teh kotak. Oia, apa bedanya dengan festival di Indonesia? Kalau biasanya di Indonesia kita harus membayar uang kontrak dengan panitia, justru di sini kami yang diberi uang. Setiap negara diberi uang sebesar 200.000 won, atau sekitar Rp2.000.000,00. Bukan cuma lumayan! Bahkan setelahnya kami bisa menyisihkan uang bersama dan diakhiri dengan makan-makan bersama.
Mencoba makanan dari booth India, di sebelah booth Indonesia. Dan ini kami Chuncheon Family + Lusiano dari Angola ^^ berfoto di depan booth Indonesia! |
Oia, ada satu lagi yang menarik! Jadi dalam kegiatan ini, kami, negara-negara yang mayoritas beragama muslim memperkenalan makanan halal. Kami membuat kartu belanja makanan halal di booth negara makanan halal. Nah, di setiap booth, setelah belanja mereka bisa mengumpulkan cap. Kalau cap-nya sudah penuh, bisa dapat makanan gratis dari negara apa saja.
Collect the stamps! |
Sangat kreatif dan tidak kompulsif.
Senin, 16 September 2013
Dari Mana Tangan Datang?
Gimme a hand!
P.S.: Kredit foto adalah untuk Kak Dicky, lurah wilayah 1 Perpika. Terima kasih untuk pinjamannya!
Saya selalu merasa ajaib bisa menjadi bagian dari pelajar Indonesia di Korea. Kalau saya bukan dari Indonesia -negara kopi darat alias suka ngumpul-, mengingat beberapa pengalaman yang kurang menyenangkan, maka sedatangnya saya di negeri Esenesdi ini pasti terasa sepi. Maka, akhir minggu ini saya menyempatkan diri untuk bertemu dengan beberapa teman Indonesia. Sekadar "cukup tahu".
Ayo cari saya di manaaaaa |
P.S.: Kredit foto adalah untuk Kak Dicky, lurah wilayah 1 Perpika. Terima kasih untuk pinjamannya!
Kamis, 12 September 2013
Not Fast Enough?
Not fast enough? |
Menurut berita yang dilansir dari Kompas april lalu, Korea adalah negara dengan koneksi internet tercepat di dunia, sedangkan Indonesia ada di urutan nomor 104. Buat saya, tentu saja surga dunia. Selama di Korea, saya tidak membeli kartu telpon dan tetap bisa terhubung dengan banyak orang melalui koneksi internet yang bertebaran di banyak tempat: di kafe, kampus, kamar, terminal. Pun kecepatannya boleh diadu.
Hari ini, setelah selesai kelas, saya mampir ke perpustakaan. Suasana sedang ramai dan di kanan kiri banyak teman yang sedang belajar melalui video lecturer yang diunggah ke internet. Yap, mengambil kelas daring sangat populer di negara ini. Adapun saya cuma asyik-asyikan ngeblog dan berselancar ria. Dadadada....
Update: Dari Student Lounge
Serasa buka laman dokumen di memori komputer sendiri |
Saking antilelet dan antingadat, biasanya mahasiswa yang punya tugas buat presentasi pun jarang bawa flash-drive ke kampus. Mereka cukup mengunggah flash-drive mereka ke surel (surat elektronik alias e-mail) dan membukanya di komputer kelas tepat sebelum detik-detik presentasi. Iri? Sama, dong! Saya tidak punya yang seperti itu di kampus saya juga.
Belajar Keras, Soju Keras
Hari ini saya dan dua teman Indonesia (Kak Adis dan Kak Isna) pergi ke sebuah toko es krim di sekitar gerbang belakang kampus. Sekitar pukul 9 malam, di suhu 19° C dan hari itu Chuncheon berkabut.
Di tengah percakapan dan beberapa candaan, Kak Adis bilang, "Wah! Adek-adeknya udah pada pake seragam musim gugur!". Saya tertegun. Oh, ternyata adik-adik SMA yang sekolahnya tidak jauh dari kampus saya itu baru saja pulang sekolah. Saya pikir lagi dan bersikap biasa saja, karena dulu waktu SMA saya juga pernah sesekali pulang pukul 10 malam demi kursus tambahan. Kata Kak Adis, mereka biasa pulang malam seperti ini. Sekali lagi saya berpikir, lalu urung.
Saya mulai berpikir bagaimana mahasiswa di Korea belajar. Selama ini, yang saya tahu hanya drama Korea dan boyband Korea. Padahal di Korea sendiri tidak semua-orang kenal dengan boyband. Kak Isna lebih mafhum, deh, daripada orang-orang asli Korea kebanyakan. EXO, Suju, SNSD, SISTAR, khatam!
Belajar dan lulus hingga menjadi cendekia atau dokter adalah trend di Korea. Di Indonesia, sih, masih so.. so.. Masih banyak yang bercita-cita jadi ustad. Moral dan religi kita masih kental. Kalau di negara konfusius ini, isi kepala adalah segalanya. Makanya di Korea, pendidikan dijunjung tinggi. Mereka semua akan bekerja sangat keras untuk bisa masuk ke perguruan tinggi terbaik.
Kalau dibandingkan dengan gaya belajar Finlandia yang pernah saya tulis di entri ini, saya mengibaratkan pendidikan Korea sebagai sapi ternak dan pendidikan di Finlandia sebagai lumba-lumba.
Diam-diam Menghanyutkan
Mahasiswa Korea yang sangat pintar sekalipun, jarang mengacungkan tangan untuk bertanya atau memberikan pendapat. Mereka sangat pasif di kelas. Mereka juga malu-malu untuk berbicara dalam bahasa Inggris. Saya? Meskipun salah gramatika di mana-mana, saya selalu berusaha bersikap proaktif dengan menjawab beberapa pertanyaan. Biar satu atau dua patah kata, menjawab pertanyaan dosen adalah usaha kita menghargai mereka. Ini yang paling saya sayangkan dari budaya belajar orang Korea. Mereka seakan segan dengan yang dianggap bisa (dosen). Mereka seperti selalu berusaha menjadi orang yang sama dengan yang lainnya.
Kadang saya berpikir, kenapa Korea bisa semaju sekarang padahal kalau dilihat dari pendidikannya, rasanya agak sulit bertemu dengan teman-teman yang outstanding dan sedikit freak. Kalau mengingat-ngingat, tidak terlalu banyak juga yang jadi juara-juara olimpiade internasional, ya? CMIIW, mohon data. Atau mungkin karena kebetulan saya juga kuliah di kampus yang tidak terlalu bagus, ya? Harusnya saya kuliah di ibu kota. Atau mungkin cara pikirnya kalau kita cukup pintar di kelas, kita tidak boleh mendominasi kelas. Kita harus memberikan kesempatan untuk orang lain. Entahlah.
Lama-lama dengan diamnya semua orang di kelas bisa membuat mereka terbiasa melihat kesalahan yang terjadi di lingkungan mereka tanpa berani berpendapat, kemudian jatuh menjadi seseorang yang individualis.
Saya merasa ada sesuatu yang belum pernah saya ketahui. Saya sangat ingin tahu kenapa salah satu negara termiskin di dunia (1950) ini bisa menjadi negara homogen satu-satunya yang maju di dunia. Hei! Bahkan sangat sedikit dari mereka yang bisa berbahasa Inggris.
Belum ada dosen |
Diam-diam Jadi Hanyut Beneran
Tapi di luar kelas, mereka bekerja dengan sangat keras. Semenjak ada di Korea, saya merasakan suasana "belajar" dan "berkerja keras" dari mereka. Hyeyong, teman sekamar saya, akan belajar sampai pukul tiga dini hari. Hampir setiap saya masuk ke kamar, dia sedang duduk di depan meja belajarnya sambil membaca buku. Lain lagi Jieun, hampir setiap hari menginap di studio untuk menyelesaikan tugasnya. Rajin sekali ... Ada juga perpustakaan yang pasti penuh seperti pasar malam kalau musim ujian tiba. Perpustakaan akan buka 24 jam di musim itu.
Ah, hidup mahasiswa di Korea tidak seindah dalam drama. Orang-orang Korea memang unpredicted. Buatku, mereka adalah negara anomali.
Oia, ada satu lagi yang membuat hidup mereka keras: kosmetik. Kalau sedang tidak belajar, ya kerjanya mainan kosmetik. Toko kosmetik Olive Young di gerbang kampus belakang laku keras di musim apapun. Oh!
Lainnya lagi, kesukaan mereka adalah soju (arak Korea).
***
Jadi, keyword mahasiswa Korea: belajar keras, soju keras, kosmetik. Perempuan dan laki-laki, tidak terlalu jauh berbeda.
Rabu, 11 September 2013
노래방-an : Karaokean
Tipikal anak muda jaman sekarang, kalau sudah ketemu, biar seru harus minum soju. Soju adalah arak Korea. Ah, iya, maksudnya tipikal anak muda Korea. Selain minum, ada juga yang sukanya "norebang-an" -istilahnya anak-anak Indonesia di Korea-. Norebang (노래방) artinya tempat karaoke.
Hari ini saya dan Kak Adis, Kak Isna, Kak Fandy, Changyoon Oppa, Te Eun juga Dainam pergi ke tempat karaoke. Jadi ada orang Indonesia, Korea, Jepang, Thailand. Lagu-lagu yang kami nyanyikan seputar lagu Jepang, Korea, Inggris. Saya sendiri cuma bisa beberapa lagu barat dan Jepang. Lagu Korea nggak ada yang bisa sama sekali. Huahahahaha. Paling cuma sepotong-sepotong. Jadilah banyak duetnya dengan Dainam. Achivement unlocked banget deh nyanyiin lagunya Utada Hikaru sama orang Jepang. Hihihihi. Oia, baru tiga minggu di Korea, saya udah norebangan tiga kali, loh. Demi persahabatan!
Tempat Karaoke
Tempat karaoke di Korea nggak sama kayak di Indonesia. Kalau di sini, norebangan itu udah kayak warungan aja. Satu yang saya datangi ini ada di sekitar gerbang belakang kampus. Lebih butut dari Inul Vizta atau NAV di Indonesia. Tapi koleksi lagunya lengkap. Lagu Indonesia juga ada. Tapi rata-rata lagunya masih lawas, cem lagunya Tante Vina Panduwinata.
Lagu-lagu Koreanya biasanya ada peraga koreografinya. Jadi, buat yang K-POP lovers, surga banget deh norebangan di Korea! Apalagi Ahjussi (Bapak) penjaganya sering memberi waktu tambahan buat kami yang sudah jadi pelanggannya.
Semuanya berakhir dengan ketawa-ketawi dan suara tamborin yang sedikit bising tapi bikin pada nyengir.
Selasa, 10 September 2013
Mau Makan?
Hai semua ...
나 배고파 (na baegopa, "saya lapar")
Hari ini saya mau ngajak teman-teman semua makan di kantin kampus. Menunya sih biasa, tapi karena experience-nya beda, rasanya jadi spesial pake telooooor banget.
Menyoal makanan di Korea, sama seperti keluhan mahasiswa Indonesia lain yang ada di luar negeri. Pertama, karena saya seorang muslim. Seorang muslim tidak hanya dilarang makan babi, tapi juga binatang darat lain yang tidak disembelih dengan nama Allah. Kadang berpikir dua kali, "apa panci yang dipakai memasak semua makanan di sini dipakai untuk memasak babi juga?". Kedua, karena uang sakunya terbatas. Ketiga, karena tidak bisa masak di asrama. Makanya, cuma bisa ke kantin kampus dengan menu terbatas.
Sehari-hari saya makan dua kali saja. Kadang kalau sedang hemat hanya sarapan saja, kemudian minum sereal di sore harinya. Atau sarapan mi instan, kemudian makan sehat di malam harinya. Alternatif lainnya, masak nasi instan di microwave dan makan abon dari Indonesia. Batasannya, minimal sehari sekali makan sehat dan susu.
Dibandingkan dengan budaya makan saya sehari-hari di Indonesia, boleh dibilang saya perbaikan gizi di sini. Sekali makan normal, saya mengeluarkan Rp30.000. Padahal kalau di Indonesia biasa warteg-an. Kalau sedang hemat cuma Rp3.000.
Dibandingkan dengan budaya makan saya sehari-hari di Indonesia, boleh dibilang saya perbaikan gizi di sini. Sekali makan normal, saya mengeluarkan Rp30.000. Padahal kalau di Indonesia biasa warteg-an. Kalau sedang hemat cuma Rp3.000.
Tapi, nggak apa-apa deh. Kan, cara makannya juga yang bikin jadi kenyang perasaan dan jadi kenyang cerita baru di blog yang kelaparan entri ini ...
Do Sukjae, kantin kampus di lantai 4, KNU. |
Ini adalah kantin favorit saya. Kalau mau makan, harus naik elevator ke lantai 4. Elevatornya pun elevator favorit saya di KNU, karena di pintunya ada siluet ranting dan burung-burung.
Nah, pertama-tama, sebelum masuk, kita bisa memilih menu makanan yang terpampang di depan pintu masuk. Kalau sudah menentukan pilihan, yuk, kita masuk!
Kalau biasanya kita membayar setelah makan, di sini kita harus membayar sebelum makan. Kita langsung ke kasir, menyebutkan pesanan kita, membayar, kemudian mengambil nota pembayaran. Nota ini harus dibawa ke loket dapur untuk ditunjukkan pada ahjumma (panggilan sopan untuk ibu-ibu). Sekarang, tinggal antri dan tunggu. Sambil menunggu, kita bisa ambil nampan, "acar lobak", sumpit dan sendok. Du du du du du ... ♬ ♬
Sekitar lima menit kemudian, makanannya sudah siap! Yuhuu!
Nah, ini dia makanannya. Namanya Camci Dolso. Ini adalah makanan yang biasa saya makan selama di sini. Rasanya enak dan bismillah insyaAllah halal. |
Jal mokkeseumnida! (Semacam "Itadakimasu")
Nom.. nom.. nom..
Budaya makan di Korea sangat unik. Orang Korea selalu memakan makanannya selagi hangat. Tidak seperti di Indonesia, kita malah biasa makan makanan yang dimasak tadi pagi. Hahaha. Alatnya pun unik. Sumpit dan sendoknya tipis dan panjang. Biasanya sumpit akan menjadi alat bantu sendok atau "pengganti garpu". Boleh juga sumpit dan garpu digunakan bergantian. Yang jelas, saat dan sesudah makan sendok tidak boleh dalam keadaan tengkurap, dan sumpitnya tidak boleh dalam keadaan tertancap di makanan.
Nom.. nom.. nom.. Makanannya enak banget! Porsinya juga selalu besar. Setiap makan di Korea, saya selalu merasa makan dua porsi sekaligus.
Selesai Makan
Budaya orang Korea yang mandiri dan rapi saat makan juga ada setelah mereka makan. Setelah makan, kita harus membawa nampan dan menaruh semua peralatan makan kita sendiri ke tempat pembersihannya masing-masing, secara terpisah. Ada pun sisa makanannya, harus dibuang sendiri pula ke bak pembuangan khusus. Gunanya, supaya ibu kantin mudah membersihkannya.
Terakhir, kita bisa minum air mineral yang diambil dari dispenser. Oia, gelasnya lucu deh, seperti gelas penjara. Hahaha. Gelas aluminium ini bisa diambil di lemari sterilisasi. Kemudian setelah dipakai, langsung diletakkan di kontainer gelas bekas-pakai.
Wuhmmm... kalo di kantin FEB Undip kayak gini, saya nggak bakal jajan di luar! :)
Senin, 09 September 2013
Haus?
Sebelum sampai di Korea, saya sempat mendengar isu bahwa harga soju (arak Korea) lebih mahal daripada harga air mineral. Oh, ternyata salah. Tentu saja. Harga air mineral (600ml) di Korea adalah 500 won. Jika dikonversi ke dalam rupiah, berarti harganya 5000 rupiah. Tapi, mengingat saya anak kampus, tentu caranya jadi berbeda cerita.
Dispenser di Korea dihubungkan langsung ke sumber air tersuling, kemudian disuling ulang di sebuah dispenser. Di dispenser ini pula sebagian air dipanaskan, sehingga kita bisa mengambil air panas dan dingin.
Di tempat publik, kampus menyediakan dispenser di hampir setiap lantai di pojokan gedung. Uniknya, mereka menggunakan kantong kertas sekali pakai sebagai wadah minum. Sangat efisien! Mengingat menggunakan gelas kertas terlalu boros, sedangkan tidak semua mahasiswa membawa botol minumnya. Juga, karena galon isi ulang yang biasa kita gunakan di Indonesia kurang baik untuk kesehatan. Pertama karena sering kali terlalu lama terjemur di bawah sinar matahari yang bisa mengakibatkan air menjadi karsinogen, juga karena proses isi ulang yang berulang. Sayangnya, kita pun tidak punya banyak pilihan, karena infrastuktur di Indonesia belum sebaik di negeri ginseng ini.
Alternatif lainnya urusan minum adalah vending machine. Mesin ini ada di mana-mana. Di setiap fakultas, kafetaria, asrama, dan sering kali juga di pinggir jalan. Meskipun di sekitarnya ada minimarket, mereka masih bertebaran juga. Hahaha.
Oia, orang-orang di Korea rajin minum air mineral. Mereka banyak berolah raga, karena mereka akan jalan ke mana-mana. Sangat jarang yang punya kendaraan pribadi. Bahkan di waktu sengang, mereka masih sempat pergi ke gimnasium. Setelah makan, mereka pun hanya minum air mineral. Sehat, kan? Makanya Mbak-mbak di sini pun caaaantik semua! Termasuk Mbak yang nulis entri ini. Huahaha..
Minumnya dari bagian kertas yang lebih tinggi, ya! Kecuali kamu pesek ... Dudududu ... ♬♬♬
Minggu, 08 September 2013
Meskipun Saya Berhijab, Mereka Kerap Bertanya, "Apa Agamamu?"
Setelah membaca pos dari Titan tentang pengalamannya menggunakan hijab di Amerika, saya jadi tergelitik. Saya berpikir, sahabat saya ini cukup beruntung karena ia berada di negara liberal. Bagian yang tidak beruntung darinya adalah karena temannya yang menyebalkan itu mengajaknya ajep-ajep. Dibandingkan dengan saya, hidup sebagai seorang muslimah di Korea itu tidak mudah, jika tidak ingin dikatakan sulit.
Saya dan Festina |
Mayoritas orang Korea adalah atheis, termasuk ketiga teman sekamar saya dan buddy yang selalu menemani saya untuk bisa bertahan hidup di Korea. Waktu sekolah, orang Korea hanya sepintas belajar tentang agama Budha, sedangkan kepercayaan mereka adalah konfusius. Mereka buta dengan agama. Hanya beberapa orang saja yang pergi ke gereja dan klenteng. Tidak heran mereka lahir menjadi generasi yang image centric. Saking tidak tau, meskipun saya berhijab, mereka kerap bertanya, "apa agamamu?". Katanya, mereka pikir hijab saya adalah fashion.
Rasanya janggal saat orang sekitar memerhatikan. Kadang mereka bergunjing, kadang melihat lamat-lamat, kadang segerombolan mas-mas bergantian melihat ke arah saya, seolah-oleh mereka tidak berusaha melihat. Termenyebalkannya, suatu hari ada seorang bapak-bapak datang menghampiri, kemudian ia bicara dalam bahasa Korea dengan nada keras bahwa bahwa hijab saya adalah diskriminasi terhadap kaum perempuan dan saya harus melepas hijab ini supaya bisa mengeksplorasi dunia luar. Kira-kira, begitu katanya. Itu terjadi di hari pertama saya di kampus dan merupakan awal yang buruk.
Sungguh rasanya saya ingin menantang mereka bersilat lidah atau menyilet lidah mereka. Tapi, saya cukup rasional untuk mencegah raut muka saya berubah. Pada akhirnya, saya tersenyum saja dan mencoba memberi pengertian.
Kalau ada nenek-nenek atau kakek-kakek yang berpapasan di jalan, saya malah suka. Saya akan tersenyum pada mereka dan mengucapkan "anyeong haseyo" sambil menjura. Kemudian, mereka akan menjura juga dan menyahut dengan raut muka menyenangkannya. Oldman, wiseman.
Bagi saya, Korea adalah anomali. Negara maju ini seperti orang botak yang rambutnya panjang. Saya selalu penasaran dari mana mereka mendapatkan teknologi dan membangun negara dengan besarnya, padahal penduduknya tidak banyak dan jarang yang bisa berbahasa asing. Di kota kecil ini, saya seperti bukan makhluk bumi. Oia, saat sampai ke tempat ini saya juga harus membuat "alien card" sebagai komplemen passpor. Hahaha. Alien ...
Kelas Internasional
Bagi saya, tempat yang paling cukup bisa membuat saya nyaman adalah kelas internasional. Hanya dengan mereka, anak-anak Korea yang sudah pernah pergi ke luar negeri dan mahasiswa dari berbagai belahan dunia dengan keragamnnya, saya merasa lebih dipahami. Saya satu-satunya mahasiswa yang menggunakan hijab di kelas. Saat memperkenalkan diri, dengan bangga saya menyebutkan nama negara Indonesia. Beberapa dosen malah menebak dengan benar sebelum saya sempat mengucapkannya.
Di lingkungan internasional ini, lebih mudah bagi saya menyampaikan apa yang saya yakini dan apa yang saya sukai. Mereka juga mengerti batasan saya.
Pada akhirnya, saya semakin terbiasa dan mulai kuat. Ketika mereka banyak bertanya, saya jadi banyak belajar dan berpikir untuk menjawabnya. Jika tidak ingin dikatakan "egois" dengan memiliki kepercayaan, maka pilihan beragama Islam adalah cara terbaik bagi saya untuk hidup lebih mudah. Agama untuk hidup itu seperti halnya aplikasi di handphone. Tapi bagi saya, Islam adalah kebenaran universal, bukan (hanya) sebuah agama.
Indonesia
Beruntunglah saya karena saya lahir di Indonesia. Berarti, saya adalah manusia terpilih yang dengan mudah mendapatkan hidayah dari mana-mana, minimal lima kali sehari di waktu adzan. Waktu memulai pakai kerudung juga sangat mudah. Benar kata orang-orang: waktu kita di luar negeri, kita baru merasakan betapa beruntungnya tinggal di Indonesia. Aku mau pulang.
Langganan:
Postingan (Atom)