Setelah membaca pos dari Titan tentang pengalamannya menggunakan hijab di Amerika, saya jadi tergelitik. Saya berpikir, sahabat saya ini cukup beruntung karena ia berada di negara liberal. Bagian yang tidak beruntung darinya adalah karena temannya yang menyebalkan itu mengajaknya ajep-ajep. Dibandingkan dengan saya, hidup sebagai seorang muslimah di Korea itu tidak mudah, jika tidak ingin dikatakan sulit.
Saya dan Festina |
Mayoritas orang Korea adalah atheis, termasuk ketiga teman sekamar saya dan buddy yang selalu menemani saya untuk bisa bertahan hidup di Korea. Waktu sekolah, orang Korea hanya sepintas belajar tentang agama Budha, sedangkan kepercayaan mereka adalah konfusius. Mereka buta dengan agama. Hanya beberapa orang saja yang pergi ke gereja dan klenteng. Tidak heran mereka lahir menjadi generasi yang image centric. Saking tidak tau, meskipun saya berhijab, mereka kerap bertanya, "apa agamamu?". Katanya, mereka pikir hijab saya adalah fashion.
Rasanya janggal saat orang sekitar memerhatikan. Kadang mereka bergunjing, kadang melihat lamat-lamat, kadang segerombolan mas-mas bergantian melihat ke arah saya, seolah-oleh mereka tidak berusaha melihat. Termenyebalkannya, suatu hari ada seorang bapak-bapak datang menghampiri, kemudian ia bicara dalam bahasa Korea dengan nada keras bahwa bahwa hijab saya adalah diskriminasi terhadap kaum perempuan dan saya harus melepas hijab ini supaya bisa mengeksplorasi dunia luar. Kira-kira, begitu katanya. Itu terjadi di hari pertama saya di kampus dan merupakan awal yang buruk.
Sungguh rasanya saya ingin menantang mereka bersilat lidah atau menyilet lidah mereka. Tapi, saya cukup rasional untuk mencegah raut muka saya berubah. Pada akhirnya, saya tersenyum saja dan mencoba memberi pengertian.
Kalau ada nenek-nenek atau kakek-kakek yang berpapasan di jalan, saya malah suka. Saya akan tersenyum pada mereka dan mengucapkan "anyeong haseyo" sambil menjura. Kemudian, mereka akan menjura juga dan menyahut dengan raut muka menyenangkannya. Oldman, wiseman.
Bagi saya, Korea adalah anomali. Negara maju ini seperti orang botak yang rambutnya panjang. Saya selalu penasaran dari mana mereka mendapatkan teknologi dan membangun negara dengan besarnya, padahal penduduknya tidak banyak dan jarang yang bisa berbahasa asing. Di kota kecil ini, saya seperti bukan makhluk bumi. Oia, saat sampai ke tempat ini saya juga harus membuat "alien card" sebagai komplemen passpor. Hahaha. Alien ...
Kelas Internasional
Bagi saya, tempat yang paling cukup bisa membuat saya nyaman adalah kelas internasional. Hanya dengan mereka, anak-anak Korea yang sudah pernah pergi ke luar negeri dan mahasiswa dari berbagai belahan dunia dengan keragamnnya, saya merasa lebih dipahami. Saya satu-satunya mahasiswa yang menggunakan hijab di kelas. Saat memperkenalkan diri, dengan bangga saya menyebutkan nama negara Indonesia. Beberapa dosen malah menebak dengan benar sebelum saya sempat mengucapkannya.
Di lingkungan internasional ini, lebih mudah bagi saya menyampaikan apa yang saya yakini dan apa yang saya sukai. Mereka juga mengerti batasan saya.
Pada akhirnya, saya semakin terbiasa dan mulai kuat. Ketika mereka banyak bertanya, saya jadi banyak belajar dan berpikir untuk menjawabnya. Jika tidak ingin dikatakan "egois" dengan memiliki kepercayaan, maka pilihan beragama Islam adalah cara terbaik bagi saya untuk hidup lebih mudah. Agama untuk hidup itu seperti halnya aplikasi di handphone. Tapi bagi saya, Islam adalah kebenaran universal, bukan (hanya) sebuah agama.
Indonesia
Beruntunglah saya karena saya lahir di Indonesia. Berarti, saya adalah manusia terpilih yang dengan mudah mendapatkan hidayah dari mana-mana, minimal lima kali sehari di waktu adzan. Waktu memulai pakai kerudung juga sangat mudah. Benar kata orang-orang: waktu kita di luar negeri, kita baru merasakan betapa beruntungnya tinggal di Indonesia. Aku mau pulang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar